UN Jujur, Siapa Takut?
(dimuat
dalam Surat Kabar Priangan edisi 9 april 2013 dalam rubrik sabasakola)
Ujian Nasional (UN) kembali
menjadi topik perbincangan yang menarik bagi beberapa kalangan. Bukan hanya
bagi para civitas pendidikan, sebagian masyarakat lainnya yang memiliki
kepentingan, baik media massa maupun para pejabat pemerintah negeri ini pun tidak
henti-hentinya memperbicangkan UN.
Di satu sisi, ada beberapa pihak
yang tidak setuju dengan diadakannya UN. Salah satu alasannya ialah belum
tercapainya pemerataan pendidikan di Indonesia. Namun di sisi lainnya, ada juga
yang tetap setuju dengan dijalankannya UN ini. Karena dianggap sebagai suatu
sarana evaluasi yang baik dan suatu ujian untuk naik ke tingkat yang lebih
tinggi. “karena sistem pendidikan di Indonesia yang berjenjang, maka sudah
seharusnya ada suatu ujian yang harus dilalui peserta didik, untuk mencapai
tingkat yang lebih tinggi” jelas Pak In In, wakasek Kurikulum SMA Al-Muttaqin
Tasikmalaya.
Bagi peserta didik, khususnya
kelas 9 dan kelas 12, UN tahun ini menjadi teror tersendiri. Hal ini tidak
terlepas dari kebijakan pemerintah yang menambah jumlah paket UN menjadi 30
paket dan memakai barcode, yang
berarti setiap peserta didik tidak mengetahui kode soal yang diterimanya.
Bagi beberapa peserta didik yang
memang telah berkomitmen untuk jujur dengan kemampuan pribadinya, hal ini
justru menjadi suatu keuntungan, yang membuat mereka semakin percaya diri
menghadapi UN. Namun, bagi beberapa peserta didik yang memiliki pemikiran
negatif, hal ini menjadi suatu masalah yang sangat serius. Pasalnya,
siasat-siasat negatif atau kesempatan untuk berprilaku curang pada UN kali ini
semakin kecil.