Pages

Labels

slide

31 Juli 2013

Usaha dan Rezeki


 Tentang Usaha (Ikhtiar) dan Rezeki Kita di Dunia

"Bagaimanakah nanti apabila mereka Kami kumpulkan di hari (kiamat) yang tidak ada keraguan tentang adanya. Dan disempurnakan kepada tiap-tiap diri balasan apa yang diusahakannya sedang mereka tidak dianiaya (dirugikan)."  (QS. Ali-Imron : 25)

Ikhtiar (usaha) menjadi suatu kewajiba bahkan menjasi sunatullah (ketentuan) bagi semua makhluk di dunia ini untuk memenuhi kebutuhannya. Usaha tersebut tentunya berbeda-beda, tergantung kesanggupan dan kebutuhannya. Misalnya, ketika kita ingin membeli mobil, tentunya usaha kita akan berbeda, jika dibandingkan dengan teman kita yang mengnginkan motor.
Dalam kesempatan kali ini, penulis akan berusaha membagi pemahamannya mengenai usaha dan rezeki, dari pengalamannya yang berhubungan dengan kedua hal tersebut.
source : http://cbs-bogor.net/mencari-modal-bisnis/
Pertama, ialah usaha. Kita sebagai manusia diwajibkan untuk berusaha, tentunya dalam kebaikan. Bahkan sudah menjadi sunatullah, jika kita menginginkan sesuatu, maka kita harus berusaha terlebih dahulu sebelum mendapatkannya. Usaha disini bisa berarti bekerja, berpikir dan sebagainya. Yang jelas ada suatu hal yang kita kerjakan. Nah, bukankah jika kita menginginkan berada di ketinggian 100 anak tangga, maka kita harus melewati 100 anak tangga? Ya, memang demikian. Hanya saja, tidak selamanya rumus tersebut berlaku. Bisa saja ada hal lain yang dapat membuatnya lebih cepat dan lebih nyaman. Misalnya dengan menaiki helicopter. Hal tersebut tentunya sah-sah saja, jika tujuan kita hanya mencapai ketinggian 100 anak tangga.
Tapi, bukankah justru kita mendapatkan pahala salah satunya dari usaha kita dan bukan dari hasilnya? Bukankah Allah melihat usaha kita? Bukankah hanya Allah yang berhak menentukan hasil, sementara tugas kitalah berusaha mendapatkannya?
Saya kurang setuju, dengan cara-cara instan dalam mendapatkan sesuatu. Namun, bukan berarti dalam semua hal. Bukan berarti karena itu tidak baik. Ini hanya persepsi saya saja. Mengapa? Karena bagi saya, seorang itu dikatakan sukses bukan semata-mata karena dia berhasil mendapatkan apa yang dia inginkan.
Misalnya, ada seseorang yang ingin membeli mobil dan rumah mewah. Dan beberapa minggu kemudian, orang tersebut dapat membeli mobil dan rumah mewah yang diimpikannya, dengan uang hasil mencuri.
Jika kita melihat pada hasil, maka dapat dikatakan orang tersebut sukses. Karena dia, mendapatkan apa yang dia harapkan. Namun, apakah cara yang digunakannya dapat dibenarkan dan dibolehkan? Tentu saja tidak. Karena uangnya pun bukan hak miliknya dan caranya pun melanggar hukum. Baik hukum Allah, maupun hukum negara. Jadi, apakah orang tersebut dapat dikatakan sukses?
Ada dua syarat utama kita dapat dikatakan sukses dalam kaidah islam. Pertama, hasil, dzat atau tujuan yang kita capai adalah baik dan sesuai dengan ketentuan Allah. Kedua, cara yang digunakannya juga baik dan sesuai dengan ketentuan Allah SWT.
Oleh karena itu, lebih baik kita berusaha lebih lama dan lebih keras juga cerdas tapi halal dan baik. Meskipun mungkin memerlukan waktu yang lebih lama dan bisa jadi hasilnya tidak lebih banyak daripada yang lain, justru karena kerja itulah kita akan mendapatkan balasan yang lebih baik dari Allah swt. Karena sesungguhnya susah, lama dan kecil sebenarnya hanya persepsi kita saja. Bisa jadi, orang lain justru menganggap sebaliknya.
Ingat, bukan berarti tidak boleh menggunakan cara atau jalan atau usaha yang lebih mudah, cepat dan nyaman. Jika memang sesuai dengan syari’at islam dan ketentuan yang telah Allah tentukan, maka sah-sah saja. Misalnya dengan meminjam atau mendapatkan warisan, dan sebagainya.

Kedua, masalah rezeki. Allah SWT, memberikan rezeki kepada manusia dari arah yang tidak diduga-duga dan bisa jadi dari sesuatu hal yang tidak kita sukai atau tidak bukan kemampuan kita. Rezeki di sini bukan hanya materil. Istri yang sholehah, kesehatan dan kemudahan dalam bekerja, merupakan beberapa contoh rezeki lainnya.
Selain itu, rezeki orang tentunya berbeda. Terlepas dari usaha yang dilakukannya, rezeki yang telah Allah karuniakan kepada manusia, tentunya berbeda satu sama lainnya. Misalnya, ada dua orang saudara kembar yang sejak kecil sekolah dan hidup pada lingkungan yang sama. Kemudian, keduanya juga dididik dengan cara yang sama juga dan dijaga dengan penjagaan yang sama juga. Namun, tentunya keduanya memiliki istri yang berbeda, kemudian gaji nya pun bisa jadi berbeda, dan anak-anaknya pun berbeda.
Atau bisa jadi, ada dua orang yang bekerja pada perusahaan yang sama, kemudian bekerja dengan jam yang sama dan istirahat pada jam yang sama juga. Namun, keduanya memliki perbedaan gaji, karena berbeda jabatan.
Intinya, rezeki setiap orang itu berbeda. Kita tidak sepantasnya iri dengan apa yang didapatkan orang lain sedangkan kita tidak. Selalu ada hikmah dari setiap apapun yang Allah ciptakan. Kita hanya harus menysukuri dan menikmati apa yang Allah berikan. Karena insya-Allah, Allah akan memberikan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan kita. Bahkan jika kita sudah pandai bersyukur, maka kita akan mendapatkan hal yang lebih baik.
Terakhir, sebagaimana usaha tadi, rezeki pun memiliki dua syarat utama yang harus dipenuhi agar menjadi rezeki yang baik. Pertama, dzatnya baik dan sesuai dengan ketentuan Allah SWT. Kedua, cara mendapatkannya juga baik dan sesuai dengan ketentuan Allah SWT. Wallahu’alam bishshowab.