Pages

Labels

slide

22 Desember 2013

Dari Ayunan sampai Liang Lahat

Resensi Buku
Dari Ayunan Sampai Liang Lahat, Imam Ahmad rahimahullah
Pemuda Ilmu dari Negeri Baghdad

Judul Buku                       : Dari Ayunan Sampai Liang Lahat
Penulis                             : Abu Nasyim Mukhtar
Penerbit                           : Toobagus Publishing
Tahun Terbit                    : 2013
Kota Terbit                      : Bandung
Jumlah Halaman               : 196 Halaman

Sumber gambar : http://toko-has.com
“Selalu dengan mahbarah, sampai pun nanti ke maqrabah”. Begitulah jawaban Al-Imam Ahmad ketika ditanya alasan beliau tetap melakukan thalabul ‘ilmi (mencari ilmu) meskipun sudah menjadi seorang Imam yang terkemuka di kalangan kaum muslimin. Sebuah jawaban yang merepresentasikan kecintaan Al-Imam Ahmad akan thalabul ‘ilmi. Sebuah jawaban yang menegaskan itikadnya untuk selalu mencari ilmu yang dianalogikan dengan mahbarah (alat tulis), sampai jenazahnya dipanggul di atas bahu menuju kuburan (maqbarah).
Kecintaan Al-Imam Ahmad dalam mencari ilmu bisa terlihat dari jauhnya jarak yang beliau tempuh untuk mencari ilmu. Bayangkan saja, ketika dihitung semenjak pertama kali meninggalkan tempat kelahirannya Baghdad menuju Kufah, kemudian ke Bashrah, Baghdad, Hijaz, Makkah, Yaman dan tempat lainnya, jarak yang Al-Imam Ahmad tempuh jika dihitung ialah sama dengan diameter mengelilingi bumi. Padahal, ketika itu belum ada kendaraan yang menggunakan mesin seperti halnya motor, mobil, pesawat dan sebagainya. Bahkan, jarak dari satu tempat ke tempat yang lain pun harus ditempuh dalam waktu satu bulan. Sebuah bukti yang menegaskan kecintaan Al-imam Ahmad dalam mencari ilmu.
Nampaknya, kecintaan Al-Imam Ahmad dalam mencari ilmu seperti yang diuraikan di atas lah yang membuat Abu Nasyim Mukhtar, menulis biografi singkat rihlah atau perjalanan Al-Imam Ahmad dalam mencari ilmu. Cerita mengenai kesabaran Al-Imam Ahmad dalam mencari ilmu dengan berjalan kaki sampai satu bulan, pertemuan Al-Imam Ahmad dengan ulama-ulama besar ketika itu, sedikit cerita tentang tragedi mihnah dan sikap Al-Imam Ahmad terhadap guru dan muridnya, dengan ringkas Abu Nasyim tuliskan dalam bukunya “Dari Ayunan Sampai Liang Lahat”.
Dalam buku “Dari Ayunan Sampai Liang Lahat” tersebut, diceritakan pula bagaimana kesabaran Ibunda Al-Imam Ahmad, Shafiyyah bintu Abdul Malik dalam mendidik Al-Imam Ahmad. Bagaimana tidak, ayahanda Al-Imam Ahmad, Muhammad bin Hanbal sudah meninggal dunia sebelum Al-Imam Ahmad laihr ke dunia ini. Tentunya hal ini menjadikan peranan Ummi Shafiyyah dalam mendidik dan merawat Al-Imam Ahmad semakin berat, karena beliau harus berperan juga sebagai ayah secara langsung. Diceritakan bahwa Ummi Shafiyyah terpaksa menyewakan salah satu bangunan sederhana yang ditinggalkan suaminya, untuk merawat dan memenuhi kebutuhan hidup mereka berdua, karena beliau bertekad untuk tidak tergantung kepada orang lain, bahkan memutuskan untuk tidak menikah lagi, sebab ingin mendidik Al-Imam Ahmad dengan perhatian yang lebih.
Selain cerita antara Al-Imam Ahmad dan ibundanya, dalam buku “Dari Ayunan Sampai Liang Lahat” juga diceritakan mengenai pengalaman Al-Imam Ahmad ketika mencari ilmu dan bertemu dengan ulama-ulama besar ketika itu seperti Imam Syafi’I, Abu Mu’awiyah Adh-Dhahir, Waki Bin Al-Jarrah, Yahya Bin Sa’id Al Qattan, Abdurrazaq Bin Hammam dan yang lainnya. Salah satu yang membuat Al-Imam Ahmad begitu istimewa ialah, hampir semua guru yang pernah memberikan pengajaran dan menyampaikan sebuah riwayat hadits kepada beliau memuji dan menyanjung kesabaran serta ketaatan Al-Imam Ahmad. Seperti yang pernah disampaikan oleh Imam Syafi’i sebagai berikut :
“Saat aku meninggalkan Baghdad, tidak ada orang yang lebih alim, lebih afdhal, lebih faqih dan lebih bertaqwa daripada Ahmad bin Hanbal”
“Wahai Abu Abdillah, jika sebuah hadits menurut Anda shahih, beritahukan kepada saya. Aku akan pegang hadits itu. Entah orang tersebut dari Hijaz, Syam, Iraq atau Yaman”.
Dan benar saja, setiap hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Syafi’I di dalam ktab Al Umm dengan mengatakan “seorang tsiqoh (terpercaya) telah menyampaikan kepadaku” maka yang beliau maksud tsiqoh tersebut adalah Al-Imam Ahmad. Sungguh menjadi sebuah bukti akan kebesaran dan ketaatan Al-Imam Ahmad.
Buku “Dari Ayunan Sampai Liang Lahat” memiliki tata bahasa yang mudah untuk dipahami. Setiap sub bab juga tidak memiliki terlalu banyak isi, sehingga tidak terkesan membosankan. Selain itu, cerita-cerita yang dituliskan juga diserta dengan sumber yang jelas, bahkan beberapa dibarengi juga dengan pendapat ahli sejarah, sehingga dapat diyakini keasliannya.
Hanya saja, terdapat banyak istilah-istilah dalam bahasa arab yang tidak dibarengi dengan keterangan atau penjelasan dalam bahasa Indonesia, dimungkinkan menjadi kesulitan tersendiri bagi beberapa pembaca, terutama yang belum menguasai bahasa arab.
Meskipun demikian, buku “Dari Ayunan Sampai Liang Lahat” sangat cocok sekali untuk para remaja terutama bagi yang masih saja merasa malas dalam mencari ilmu dan hendak mencari inspirasi dalam mencari ilmu. Selain bagi mereka yang malas, buku ini juga dapat menjadi sebuah refleksi bagi para pejuang tholabul ‘ilmi agar kelak tidak lantas berhenti untuk mencari ilmu. Terakhir, kutipan dari Abi Ghassan semoga dapat mengingatkan kita untuk senantiasa semangat dalam mencari ilmu.

“Engkau akan pantas disebut orang berilmu selama engkau masih terus belajar! Jika engkau merasa cukup sehingga tidak belajar, maka engkau adalah orang jahil”. 

2 Desember 2013

Akhir yang Indah untuk Mengawali Sebuah Keindahan yang Baru #1

Akhir yang Indah untuk Mengawali Sebuah Keindahan yang Baru

sumber gambar:
http://ullybako.blogspot.com
Nopermber 2013, memang sudah berlalu. Hanya saja, kesan yang terkandung pada hari terakhir bulan tersebut seakan menjadi pelengkap keindahan puzzle bulan tersebut secara utuh. Ini bukan tentang sebuah gejolak rasa yang bersifat sementara. Lebih jauh lagi, ada sebuah pelajaran yang tidak saya dapatkan di bangku perkuliahan atau bahkan seminar nasional sekalipun, karena hal ini berkaitan dengan kehidupan.

Ya, setiap orang memiliki persepsi masing-masing akan kehidupan yang dijalaninya. Setiap orang juga berhak mengekspresikan kehidupannya sesuai dengan apa yang dia inginkan.

Tapi, pernahkah kita berpikir bahwa tidak semua orang dapat melakukan hal tersebut, atau (saya perjelas lagi), tidak semua manusia memiliki kebebasan untuk mengonsep kehidupannya sesuai persepsinya, mengekspresikan apa yang dia inginkan, atau bahkan mereka sama sekali tidak mengenal apa itu kebebasan.
Malam itu saya belajar bagaimana kerasnya hidup ini. Mungkin bagi sebagian orang terkesan tidak adil atau aneh, ketika pada satu sisi ada orang yang menjalani kehidupan dengan dikaruniai harta yang melimpah, meskipun usaha yang dilakukannya bisa dibilang biasa-biasa saja atau bahkan hartanya didapat dengan cara yang tidak baik. Tapi di sisi lain, ada sekelompok orang yang harus berjuang lebih keras lagi, untuk menyambung kehidupannya meskipun hasil yang didapat sama sekali tidak mencukupi bahkan hanya untuk makan dua kali dalam sehari.

Bagi beberapa orang (mungkin termasuk kita), masa anak-anak menjadi masa yang sangat mengesankan. Bagaimana tidak, pada masa tersebutlah kita bisa merasakan dengan bebasnya bermain tanpa harus memikirkan laporan yang harus dikumpulkan besok hari, atau ketika kita bisa bebas meminta sesuatu kepada orang tua kita semau kita tanpa pernah kita memikirkan bagaimana orangtua kita mendapatkannya, atau bahkan ketika kita masih bisa dengan lelapnya tertidur di rumah pada malam hari di atas kasur, tanpa perlu begadang menyelesaikan tugas atau memikirkan apa yang akan kita makan esok hari, karena sudah yakin bahwa orang tua kita pasti akan menyiapkan makanan untuk kita. Bisa jadi hal tersebut yang menjadi penyebabnya, atau hal-hal lainnya.

Namun, pernahkah kita memikirkan dan bertanya pada sekelompok anak yang lain, yang ketika malam hari tiba mereka justru harus tetap terjaga agar mereka dapat memastikan bahwa besok mereka bisa makan, atau ketika malam tiba, mereka justru harus keluar rumah dan meninggalkan tempat tidurnya untuk mencari uang hanya untuk memastikan bahwa Ibunya yang sedang sakit tidak perlu bekerja dan agar dia bisa mendapatkan uang untuk membeli makan keluarganya, atau bahkan mereka harus rela tidak bermain dan menghilangkan keinginannya untuk bersenang-senang karena memang mereka tidak memiliki waktu untuk melakukannya, atau mungkin mereka tidak memiliki uang untuk membeli apa yang diinginkannya.

Malu memang, ketika mereka harus meminta-minta kepada masyarakat yang sedang berkumpul atau bermain di keramaian. Hanya saja, mereka harus membuang rasa malu tersebut agar perut yang setiap hari mereka bawa tidak menambah beban penderitaan mereka. Jika ditanya ingin bekerja yang lebih layak, tentunya mereka juga mau. Hanya saja, badannya yang masih kecil, tulangnya yang masih rawan bahkan tenaganya yang masih begitu lemah sangat rentan sekali dan tidak memungkinkan untuk bekerja yang berat. Bahkan, justru bukan di sanalah seharusnya mereka. Mereka seharusnya belajar untuk masa depannya yang lebih baik. Mereka seharusnya di rumah untuk menyelesaikan PR yang mereka punya. Hanya saja, mungkin kita sendiri belum sepenuhnya tahu, apakah memang mereka sekolah? Atau apakah mereka sanggup membayar biaya sekolah dan tetap melanjutkan sekolahnya? Karena bisa jadi mereka pikir buat apa sekolah, jika hanya mengganggu waktunya untuk mencari uang. Sekali lagi, mereka bukannya tidak mau sekolah. Hanya saja, kemauan terkadang tidak sejalan dengan kenyataan. Mereka menyadari itu.

Mungkin, bagi beberapa orang beberapa hal yang disebutkan di atas terkesan aneh dan bisa jadi ada sebuah persepsi bahwa Tuhan tidak adil. Tapi percayalah, Allah itu Maha Adil. Tidak mungkin Allah menciptakan sesuatu secara dholim atau sia-sia. Segala yang diciptakannya memiliki hikmah dan sudah menjadi tugas kita (manusia), sebagai makhluk yang dikaruniai akal untuk mencari dan memikirkan hikmah tersebut.

Allah menciptakan mereka, salah satunya agar kita dapat bisa mensyukuri apa yang telah Dia berikan kepada kita. Allah memberikan kesempatan kepada kita untuk sekolah, salah satunya agar kelak kita bisa membuat mereka juga bisa sekolah seperti kita. Allah memberikan kesempatan kepada kita untuk tertidur agar kelak kita bisa membuat mereka lebih sejahtera sehingga tidak perlu mengemis lagi dan memiliki pekerjaan yang tetap. Namun kemudian pertanyaannya, sudahkah kita memikirkannya? Sudahkah kita mensyukuri apa yang kita miliki dan tidak selalu meminta lebih dengan semau kita? atau sudahkah kita peduli kepada sesama kita sebagai bentuk rasa syukur kita? Jika kita masih sulit menjawab pertanyaan tersebut, tanyakanlah jawabannya pada anak kecil tadi, yang harus meninggalkan masa-masa anaknya, agar perut yang senantiasa dibawanya setiap hari tidak menambah beban penderitaanya.
...