Membangun Komitmen
Sulit memang menjalani hidup
dengan tanpa celah. Bahkan mungkin bisa dikatakan tidak mungkin. Hal ini tidak
terlepas dari fluktuatifnya keimanan dan juga silih bergantinya kesulitan dan
kebahagiaan.
Namun, bukan berarti hal
tersebut menjadi alasan untuk mewajarkan kegiatan negatif. Bagaimana pun,
keburukan adalah sebuah keburukan dan kebaikan tetap menjadi kebaikan. Keduanya tidak akan pernah dapat menjadi satu.
Meskipun keimanan itu fluktuatif dan kesulitan dan kebahagiaan itu dirasakan silih berganti, kita tidak serta merta “diperbolehkan” melakukan kesalahan dengan sengaja.
Dalam kasus lainnya juga, komitmen merupakan sebab mengapa seseorang bisa dianggap baik. Misalnya seorang pejabat yang menolak mendapatkan gratifikasi karena berkomitmen untuk tetap menjaga diri dari perbuatan negative, setidaknya akan mendapatkan kesan baik, meskipun mungkin banyak yang akan membencinya juga.
Sederhananya, komitmen tersebut akan menguatkan diri kita untuk senantiasa memeprtahankan tekad atau niat yang telah kita tentukan sebelumnya. Dengan hadirnya komitmen, diri kita akan terpacu untuk berusaha tidak melanggar apa yang telah kita tekadkan untuk tidak dilakukan. Namun, jika tidak ada komitmen yang kuat dalam diri kita untuk menjaga kebaikan yang telah kita tekadkan dan lakukan sebelumnya, maka akan lebih mudah bagi kita melanggar dan tidak melaksanakan kebaikan tersebut.
Namun, seperti halnya kebaikan yang lain, terkadang tulisan terlalu sederhana dbandingkan dengan usaha perwujudannya. Begitu juga dengan komitmen, meskipun secara sadar kita mengetahui dan meyakini pentingnya berkomitmen dalam kebaikan, perwujudan dari komitmen tersebut bukanlah hal yang mudah. Hal inilah yang perlu kita waspadai bersama.
Kebaikan tetaplah kebaikan yang memerlukan usaha lebih untuk senantiasa melakukannya, karena kita tidak hanya “bermusuhan” dengan diri kita sendiri, namun juga makhluk lain yang senantiasa membujuk kita untuk berpaling. Hanya saja sudah menjadi tugas kita untuk memilih dan memutuskan hendak kemana kita akan memihak, apakah kita termasuk golongan yang berpaling atau justru kita termasuk golongan orang-orang beriman yang tetap berkomitmen pada kebaikan dan tidak akan berpaling, meskipun nyawa sebagai taruhannya? Wallahu’alam
source : http://deasukata.blogspot.com |
Meskipun keimanan itu fluktuatif dan kesulitan dan kebahagiaan itu dirasakan silih berganti, kita tidak serta merta “diperbolehkan” melakukan kesalahan dengan sengaja.
Salah satu hal yang menjadi wasilah atau sebab fluktuatifnya iman
tersebut ialah tidak adanya komitmen akan sesuatu yang telah kita tentukan dan
tekadkan sebelumnya. Misalnya ketika kita bertaubat, kita bertekad untuk tidak
melakukan kesalahan yang sama kembali, namun ternyata selang beberapa hari atau
minggu atau bulan atau tahun, kita lakukan lagi dosa yang telah kita tekadkan
untuk tidak dilakukan (lagi) tersebut. Maka diperlukan komitmen untuk senantiasa
menjaga I’tkad yang telah kita buat.
Dalam kasus lainnya juga, komitmen merupakan sebab mengapa seseorang bisa dianggap baik. Misalnya seorang pejabat yang menolak mendapatkan gratifikasi karena berkomitmen untuk tetap menjaga diri dari perbuatan negative, setidaknya akan mendapatkan kesan baik, meskipun mungkin banyak yang akan membencinya juga.
Sederhananya, komitmen tersebut akan menguatkan diri kita untuk senantiasa memeprtahankan tekad atau niat yang telah kita tentukan sebelumnya. Dengan hadirnya komitmen, diri kita akan terpacu untuk berusaha tidak melanggar apa yang telah kita tekadkan untuk tidak dilakukan. Namun, jika tidak ada komitmen yang kuat dalam diri kita untuk menjaga kebaikan yang telah kita tekadkan dan lakukan sebelumnya, maka akan lebih mudah bagi kita melanggar dan tidak melaksanakan kebaikan tersebut.
Namun, seperti halnya kebaikan yang lain, terkadang tulisan terlalu sederhana dbandingkan dengan usaha perwujudannya. Begitu juga dengan komitmen, meskipun secara sadar kita mengetahui dan meyakini pentingnya berkomitmen dalam kebaikan, perwujudan dari komitmen tersebut bukanlah hal yang mudah. Hal inilah yang perlu kita waspadai bersama.
Kebaikan tetaplah kebaikan yang memerlukan usaha lebih untuk senantiasa melakukannya, karena kita tidak hanya “bermusuhan” dengan diri kita sendiri, namun juga makhluk lain yang senantiasa membujuk kita untuk berpaling. Hanya saja sudah menjadi tugas kita untuk memilih dan memutuskan hendak kemana kita akan memihak, apakah kita termasuk golongan yang berpaling atau justru kita termasuk golongan orang-orang beriman yang tetap berkomitmen pada kebaikan dan tidak akan berpaling, meskipun nyawa sebagai taruhannya? Wallahu’alam