Rabu (5/12/2012) 21 Muharam 1434
Bismillah,
Ketika ada keterangan bahwa musuh
terberat itu adalah diri kita sendiri (baca : hawa nafsu), itu benar sekali.
Mungkin kita bisa memotivasi, menceramahi atau menyadarkan orang lain tentang
sesuatu kebaikan. Tapi pertanyaan selanjutnya ialah, apakah kita bisa
memotivasi diri sendiri ketika memang kita gagal dalam suatu petarungan, atau
apakah bisa kita mengimplementasikan apa yang kita ucapkan yang menjadi suatu
ciri integritas, atau kah kita dapat senantiasa melakukan kebaikan dan kembali
ke jalan yang benar, ketika kita sudah berada di jalan yang salah atau bahkan
mendekati.
Menurut saya pernyataan terakhir menjadi pernyataan yang sangat menarik. Pasalnya, memang kita akan merasa lebih nyaman melakukan suatu keburukan jika sudah mendekati. Maksudnya, kita melakukan suatu pekerjaan yang mana pekerjaan tersebut dapat dikatakan mendekati buruk. Mungkin itu salah satu alasan kenapa Allah melarang kita untuk mendekati zina dan tidak langsung melarang kita berzinah. Karena ketika kita sudah mendekati suatu keburukan maka dominannya kita akan terpaksa melakukan keburukan tersebut pada akhirnya. Sudah tanggung basah, ya tinggal mandi saja. Mungkin demikian sederhananya.
Namun, hal ini dapat berlaku
sebaliknya. Tepatnya, ketika kita mendekati suatu kebaikan maka kita pun akan
terpaksa untuk melakukan kebaikan tersebut. Misalnya, kita ngaji dari magrib
sampai isya di masjid. Tentunya, kita akan lebih terdorong untuk melaksanakan
shalat isya terlebih dahulu di mesjid, meskipun pada awalnya tidak ada niat
demikian.
Meskipun demikian, kesadaran
setiap individu tetap saja yang paling utama. Misalnya ada kok yang memang sudah mendekati zina tapi ternyata sadar dan
berpaling, atau ada juga tuh orang
yang sedang duduk di mesjid dan satu menit lagi adzan tapi malah sengaja pergi
dan menunda shalatnya.
Mungkin itulah spesialnya hidup ini. Karena dalam hidup ini selalu ada
pilihan dan memang tugas kita untuk memilih, apakah memang kebaikan atau
keburukan. Itu tergantung kita. Justru saya rasa hal ini tidak perlu
diperdebatkan, tapi harusnya disyukuri. Pasalnya, kita selaku manusia berarti
masih bisa menentukan jalan kita sendiri. “Tidak
ada paksaan untuk(memasuki) agama (islam)…” (QS. Al Baqoroh : 256).
Tapi, bukan berarti juga kita boleh
untuk mendekati keburukan atau di sini zinah. Selaku makhluk yang dikaruniai
akal, tentunya kita dapat berfikir mana yang terbaik untuk kita. Bukan hanya di
dunia tapi juga di akhirat.
Sebagai landasan kita untuk
menentukan pilihan dalam hidup kita, Allah mengkaruniakan kita Alqur’an. Bukan
hanya sebagai kitab untuk dibaca, tapi alqur’an juga dapat dijadikan sebagai
pedoman hidup yang tidak ada keragu-raguan di dalamnya.
“Kitab (Alqur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka
yang bertaqwa” (QS. Al Baqoroh :2)
Tentunya, setiap pilihan pasti
ada konsekuensinya. Ketika kita memutuskan untuk memilih jalan kebaikan atau
kebanaran, maka konsekuensinya, kita harus melaksanakan kebaikan tersebut
secara konsisten dan berkomitmen untuk tetap berada pada jalan tersebut apapun
yang terjadi.
Bisa jadi, ketika kita memutuskan
untuk berbuat baik, ternyata ada yang memang tidak suka terhadap sikap kita
yang demikian. Bahkan bisa juga yang menolak itu orangtua kita sendiri. Nah, selanjutnya bagaimana kita. Apakah
kita akan berpaling dari kebenaran dan menuruti keinginan mereka untuk
berpaling, atau tetap konsisten dan berkomitmen untuk tetap berada dalam jalan
kebaikan?
Jadi, selagi masih bisa memilih,
pilihlah yang terbaik untuk hidup kita. Bukan hanya di dunia tapi di akhirat
kelak. Dan karena setiap pilihan tentunya ada konsekuensinya, maka langkah
selanjutnya ialah menentukan strategi untuk bertahan dan tetap berada dalam
jalan kebenaran. Wallahu ‘alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar