Harapan Asyila, Sampai Payah…
Fawaz Muhammad Sidiqi
Malam
itu, menjadi malam yang begitu istimewa bagi sepasang suami-istri yang baru
saja menikah kurang dari satu tahun yang lalu. Sepasang suami-istri yang hidup
sederhana di sebuah rumah yang menjadi pemberian orang tua sang istri, disebuah
perkampungan di ujung timur perbatasan antara kota dan kabupaten Tasikmalaya di
Jawa Barat. Pasalnya buah hati perkawinan mereka, tepat malam itu akan mulai
mengisi kehidupan mereka.
Malam itu merupakan malam jum’at minggu
terakhir bulan agustus bertepatan dengan tahun diselenggarakannya piala dunia
sepak bola di Prancis. Memang ayah sang buah hati begitu menggemari sepak bola.
Yang paling spesial lagi, tim unggulan sang ayah di piala dunia tahun itu
berhasil menjadi juara dunia. Ya, sang ayah merupkan salah seorang pendukung
Prancis yang pada tahun tersebut berhasil meraih juara dunia di negaranya
sendiri. Bahkan beberapakali sang ayah menghayal memiliki seorang anak yang
memiliki skill bermain bola seperti
Zidane, kapten timnas Prancis kala itu.
Di Rumah sakit
tempat persalinan istrinya, sang suami menunggu persis di luar kamar persalinan
sang istri. Disana ada 6 kursi berwarna silver, terbuat dari bahan alumunium
tanpa di lapisi bantal dan semua kursi menyatu menjadi satu. Desainnya seperti
kursi buatan Spanyol mirip kursi tempat
tunggu di ruangan Tata Usaha SMA sang suami dulu. Sang suami duduk di kursi paling ujung dekat
dengan pintu kamar persalinan sang istri.
Ruangan tersebut seperti sebuah lorong panjang yang menghubungkan pusat persalinan di ujug yang satu dan pusat UGD di ujung lorong yang satu lagi. Dan sang suami tepat berada di tengah-tengah lorong tersebut. Warna temboknya seperti kebanyakan warna tembok rumah sakit pada biasanya, putih cerah. Di ruangan tersebut hanya ada sang suami dan seorang remaja, yang duduk dua kursi di sebelah kanan sang suami, yang nampak masih mengantuk. Wajar saja, pasalnya ketika sang suami melihat arlojinya, waktu masih menunjukan pukul satu pagi.
Rasa cemas dan
pusing pun masih menyelimuti sang suami. Dalam lamunannya, Sang suami masih
ingat betul ketika sang istri tiba-tiba terbangun lalu berteriak kesakitan di
rumahnya, dua jam yang lalu. Ya, teriakan yang membangunkan tidur sang
suami.
“Pah, Pah,
Pah… Aah” teriak sang istri.
“kenapa mah?”
ujar sang suami
“Pah, Pah,
Pah… “ sang istri berteriak kembali.
Melihat
keadaan sang istri, sang suami yang sangat panik dapat menagkap maksud sang
istri. Memang malam itu merupakan bulan kesembilan lebih lima hari kandungan
sang istri. Sang suami langsung menyadari itu dan membawa sang istri ke rumah
sakit. Untungnya, lima bulan yang lalu sang suami sempat membeli sebuah mobil
kijang, rakitan Indonesia yang memiliki warna hitam. Mereka hanya berangkat
berdua, pasalnya semenjak pisah dari rumah orangtuanya, mereka hanya hidup
berdua disana.
Rumah sakit
terdekat, berjarak kurang dari lima kilometer dari rumah mereka. Di jalan pun,
sang istri tidak henti-hentinya berteriak kesakitan.
“ Pah cepet
Pah…” ujar sang istri
“ Iya sabar
mah, kita bentar lagi nyampe ko” sang suami menjawab dengan sangat gemetar,
begitu cemas.
Jalanan sangat
sepi. Hanya sekitar dua puluh detik sekali ada kendaraan yang bersimpangan
dengan mobil sang suami. Selain karena rumah mereka memang berada di daerah perkampungan,
dua belas kilo meter dari pusat kota, malam itu memang masih terlalu malam untu
orang-orang beraktifikas bahkan untuk pergi ke pasar sekalipun. Maka dari itu, sang suami bisa mengendarakan
mobilnya lebih cepat daripada biasanya.
Malam yang cukup
dingin pun tidak menjadi masalah sang suami. Di pikirannya hanya ada rasa cemas
dan bingung melihat keadaan sang istri yang duduk di sampingnya masih terus
berteriak kesakitan. Tidak terpikirkan sama sekali, tugas di kantor Pajak
tempat bekerjanya besok, meskipun baru saja dua bulan yang lalu sang suami
masuk menjadi bagian humas di kantornya, dia beranggapan besok masih bisa
mengambil cuti. Di pikrannya terus terbesit bagaimana jika sang anak ternyata
terlahir cacat, bagaimana jika ternyata dia telat mengantarkan sang istri ke
ruamh sakit, bagaimana jika harapannya dengan sang istri memiliki seorang anak
lalu setelah dua tahun sang anak lahir, mereka pergi ke Paris menemui orang tua
sang istri, tidak dapat terkabul. Bagaimana jika ternyata hari-hari berikutnya
dia menjadi seorang duda.
“ayolah jangan
lebay gini, semuanya pasti akan baik-baik saja ko” pikiran positifnya
menyanggah.Terang saja sang suami sangat cemas, bahkan sedikit berlebihan
karena memang itu merupakan pertama kalinya sang suami merasakan cemasnya
seorang suami mengadapi kelahiran sang buah hatinya.
“Selamat Pak, anak Bapak Perempuan” tegur
seorang wanita separuh baya, yang keluar dari ruang persalinan istrinya,
menyadarkan sang suami dari lamunan.
Sang suami pun
langsung berdiri seketika dan harapan sang suami yang kini resmi menjadi
seorang ayah untuk memiliki seorang anak atlet sepak bola pun musnah. Tapi,
keterangan wanita separuh baya selanjutnya lah, yang membuat sang suami lebih
merasa sedih lagi.
“Namun mohon
maaf Pak, anak bapak hanya memiliki satu ginjal” terang sang wanita, yang ternyata seorang
dokter.
“Oh gitu ya
dok, terus istri saya bagaimana?” tanya sang suami.
“Untuk istri
bapak, dikarenakan posisi badan anak bapak yang tidak biasa ketika dalam
kandungan, maka kami melakukan operasi sesar. Sekarang beliau belum siuman.”
terang sang dokter.
Tidak ada
sepatah kata pun yang keluar dari mulut sang suami. Perasaannya kini bercampur
antara senang anak pertamanya sudah lahir dan istrinya selamat. Sekaligus sedih
karena ternyata sang anak lahir dengan hanya satu ginjal dan sang istri
menjanai operasi sesar dan belum sadarkan diri.
Rasa cemasnya
memuncak, membawanya dalam lamunan, pikiran negatifnya terus bersuara. “Bagaimana
jika ternyata anak saya kelak tidak bisa beraktifitas seperti anak yang
lainnya, bagaimana jika anak saya kelak sering sakit dan merasa tidak percaya
diri untuk bergaul dengan temannya gara-gara kelainanya, bagaimana jika
ternyata penyakitnya bisa menghambat prestasinya, bagaimana jika hari-hari anak
saya kelak hanya dihabiskan untuk perawatan penyakitnya, bagaimana jika umur
anak saya… lalu bagaimana jika istri saya ternyata tidak punya waktu yang lebih
lama lagi… aaah” pikiran-pikiran negatifnya semakin membawanya dalam kecemasan
dan kesedihan yang sangat.
*******
“Assalamu’alaikum,
Pak, Pak Pak” teriak seorang perempuan dari luar rumah sambil mengetuk pintu.
“Wa’alaikumussalam,
ada apa nak?” sang istri membuka pintu.
“Anak
ibu bu, anak ibu..” perempuan tadi seperti hendak memberitahu kabar buruk
tentang sang anak
“
Anak saya kenapa? Apa yang terjadi dengan Asyila?” Sang istri mulai panik
“Asyila
pingsan lagi tante, tadi dia pendaharan di WC terus pas datang ke kelas
langsung pingsan. Sekarang sudah di rumah sakit karya kartini, Tante” terang
sang perempuan.
“Ada
apa, Mah?” teriak sang suami dari dalam rumah yang sedang duduk di shofa teras
rumahnya.
“Asyila
pah, asyila..” sahut sang istri.
“Asyila
kenapa?” Sang suami kembali bertanya,
kali ini mulai beranjak mendekat ke Pintu.
“Asyila
pingsan, Pah. Dia sekarang di rumah sakit Karya kartini” jelas sang istri.
“Ya
udah, kalau gitu sekarang kita langsung kesana” respon sang suami.
Kejadian ini bukan yang pertama
kalinya. Selama lima belas tahun sejak kelahirannya, Asyila memang selalu mengalami
masalah dengan sistem eksresinya. Selain serig sekali mengeluarkan darah,
kotoran-kotoran di tubuhnya tidak secara sempurna tersaring, sehingga sistem
kekebalan tubuhnya rendah membuatnya mudah sakit.
Kini Asyila pun sudah memasuki
tingkat terakhir masa SMPnya. Selain memiliki masalah dengan kesehatannya,
kepercayaan diri menjadi masalah tersendiri baginya. Asyila tidak mengikuti
organisasi atau bahkan kegiatan tambahan lainnya di sekolahnya. Karena dia
menganggap hanya akan membuat penyakitnya semakin parah, kondisinya pun tidak
memungkinkan untuk dapat aktif sebagai pngurus organisasi.
Selaku orang tuanya, kami pun
tidak pernah memaksakan Asyila untuk mengikuti aktif di organisasi atau
kegiatan tambahan sekolah lainnya. Kami sadar, Asyila masih perlu waktu untuk
menerima keadaan dirinya. Bukan sekali, bahkan hamper setiap hari kami pun
memberikan pengertian dan motivasi kepadanya bahwa semuanya akan baik-baik
saja, meskipun keadaanya tidak seperti orang pada umumnya.
***
Satu minggu setelah kejadian tersebut,
Asyila kembali bisa masuk ke Sekolah. Asyila memang dituntut untuk lebih rajin
lagi, pasalnya tahun ini merupakan tahun terakhirnya di SMP. Namun, masalah
yang paling utama bukanlah keadaan Asyila sekarang yang memasuki tingkat akhir.
Seringnya Asyila izin sekolah karena sakit, membuatnya harus bekerja lebih giat
lagi mengejar ketertinggalan baik tentang pelajaran maupun tugas-tugas dan
ulangan yang sudah seribgkali ditinggalkannya.
“Eh
Syil, udah sehat Nih?” tanya Nisa, teman sekelas Asyila yang sudah dua tahun
duduk satu bangku dengan Asyila.
“Iya
nih Nisa, hari ini kan banyak tugas dan
ulangan juga, jadi ya dipaksain sekolah aja, takutnya makin banyak tugas yang
harus nyusul nanti” jawab Asyila, yang baru saja sekitar sepuluh langkah turun
dari angkot.
“Oh
iya Syil, hari ini ada ulangan IPA. Kamu sendiri tahu kan gimana Pa Dadi kalau
kita ga ikut ulangan? Nilai kita pasti jelekan ya” sambung Nisa.
“Nah
itu kamu juga tahu Nis, saya juga harus banyak susulan nih. Kamu juga tahu kan
Nis, semenjak kelas dua belas ini akau jadi sering sakit, jadi banyak tugas dan
ujian yang belum. Mana nilai semester satu kemarin pada kecil lagi, hampir lima
puluh persen dibawah KKM. Jadi ya sekarang harus perbaikan. Tiga bulan ke depan
kan kita kan UN. Saya ga mau kalau ga lulus UN” tutur Asyila.
“Tenang
aja, SYil, kalau kamu perlu bantuan bialng aja sama aku ya” ungkap Nisa sambil
memperlihatkan senuman khasnya.
“Iya
deh iya, ayo cepet kita harus masuk ke kelas. Udah mau bel nih” ajak Asyila.
Mereka berdua memang teman akrab.
Sangat akrab. Terlebih lagi Asyila yang dikenal pendiam dan tidak mudah bergaul
dengan teman yang lainnya, sangat mengandalkan Nisa sebagai tempat curhatnya,
teman bermain, belajar dsb. Selain itu, ASyila yang memang tidak memiliki
kegiatan tambahan seperti organisasi dan ekskul di sekolahnya, memang hanya
mengenal Nisa teman sekelasnya sejak kelas satu.
Asyila memang masih belum bisa
menerima keadaannya, sebagai seorang anak yang hanya memiliki satu ginjal. Namun
yang lebih menyakitkan lagi baginya, dia jadi sering sakit dan tidak masuk
sekolah karenanya.
Tiga bulan lagi UN, sementara
Asyila masih harus memperbaiki nilai semester kemarin yang hampir lima puluh
persen dibawah KKM, gara-gara sering tidak masuk sekolah. Dia seringkali mengeluh
dan bertanya pada dirinya sendiri,
“Kenapa
ya, aku begini? Padahal aku juga kan ingin beraktifitas seperti biasa, seperti
yang lainnya. Ya, bisa sekolah secara rutin, masuk organisasi, punya temen
banyak, nilai di atas rata-rata, bahkan sampai sekarang aku masih bingung
dengan cita-cita. Sekolah tak ubahnya penderitaan bagiku, padahal aku sudah
lebih dari dua tahun sekolah disini, tapi ko semuanya seakan asing, aku hanya
mengenal Nisa, gurupun mungkin tak semuanya mengenalku. Hanya guru iket saja,
yang sering mengizinkanku sakit yang tahu. Mentari seakan hanya menampakkan
setengah wajahnya kepadaku, bulan pun sama, tiap malam seakan hanya memberikan
sinar yang gelap bagiku, dunia pun juga, aku bahkan tidak tahu apakah memang
benar dunia itu ada. Kalau memang dunia itu ada, kenapa aku tidak bisa
merasakan indahnya hidup di dunia. Mungkinkan ini penderitaan yang nyata yang
hanya orang celaka yang merasakannya, yang orang lebih sering menyebutnya
neraka. Tapi, apa salahku? Bukannya sejak lahir aku memang begini, sejak aku
masih suci, aku masih dalam keadaan tidak berdosa, kenapa aku dianugerahkan
kekuarangan ini?” lirih pikirannya hampir setiap istirahat di sekolah.
***
Hari ini merupakan hari
pengumuman kelulusan Ujian Nasional. Asyila sebenarnya bimbang dan cemas.
Pikirannya tidak karuan. Dia takut tidak lulus UN.
“Alhamdulillah
aku lulus” ungkap Nisa, dengan menampakkan wajah yang merah, bibir tersenyum,
mata terbuka dan dengan suara yang sedikit nyaring.
“Oh
iya, selamat ya, aku juga lulus nih, Nis” ungkap Fitri, teman Nisa yang lain.
“Kamu
gimana Syil? Pasti lulus kan?” Tanya Nisa.
“Belum
tahu nih, aku belum lihat. Di papan pengumuman sekolah kan ya? Aku mau kesana
sekarang” ungkap Asyila, dengan wajah yang seperti memaksakan untuk tersenyum.
“oh
iya deh, mau ditemenin?” tawar Nisa
“Ga
usah, saya masih bisa jalan sendiri ko, hehe” terang Asyila,kali ini dengan
senyum yang lebih bebas.
Sepanjang jalan menuju papan
pengumuman, Asyila terus membayangkan kemungkinan yang terjadi. Sayangnya,
Asyila lebih memikirkan kemungkinan terburuk, yang membuatnya semakin cemas dan
ketakutan. Pasalnya ketika UN kemarin, Asyila tidak begitu mengerti dengan soal
yang diberikan. Malahan, hari ketiga UN, ASyila harus menjalaninya di Rumah
Sakit. Dia takut tidak lulus UN, dia takut jika membuat orang tuanya malu, dia
takut kalau dia tidak bisa memiliki teman lagi seperti Nisa. Dia takut, semua
keluarganya membencinya. Dia sangat ketakutan.
“Asyia,
Asyila, Asyila… Mana ya? Ko ga ada sih?” lirih Asyila melihat pengumuman
kelulusan.
Dan benar saja, kekhawatiran
Asyila terjawab. Dia tidak lulus UN. Di papan pengumuman kelulusan UN, tidak
ada nama Asyila. Tiba-tiba Asyila tidak bisa menahan tubuhnya, lalu pingsan.
***
Asyila semakin frustasi.
Pikirannya sangat kacau. Bahkan sesekali dia memikirkan kematian. Menurutnya
mungkin mati akan lebih baik baginya, daripada hidup dengan hanya menyusahkan
kedua orang tuanya, dan menambah rasa bersalah dan rasa menyesalnya.
Setelah siuman dari pingsannya,
Asyila melihat ada tiga orang disana, ada ayah dan ibunya dan juga ada Nisa.
“Asyila,
kamu gapapa kan, Nak?” Tanya Ayah khawatir.
Bahkan Asyila pun tidak sanggup
menjawab pertanyaan tersebut. Penderitaaan ini terlalu berat baginya, dia hanya
bisa mengadu dalam dirinya.
“Kenapa
ini terjadi kepadaku? Apa salahku? Kenapa semuanya seperti menjauh dariku?
Kesuksesan, kesenangan semuanya tidak ada dikamus kehidupanku. Aku tahu tentang
apa itu syukur. Tapi, apa yang harus saya syukuri. Kehidupan? Apakah memang aku
nyaman dengannya? Kalau bisa aku tidak berharap memilikinya lagi” lirih Asyila.
***
Hari kedua belas, dari pengumuman
kelulusan UN. Asyila masih punya waktu tiga puluh enam hari lagi untuk dapat
mengikuti UN susulan bagi yang tidak lulus.
Namun jangankan UN, Asyila pun
masih saja menyesali kehidupannya. Rasa percaya diri, optimis, berusaha sudah
hilang dari kamus kehidupan Asyila.
Ketika itu, Asyila sedang
beristirahat di taman, setelah merasa lelah bermain sepeda. Dia seakan meras
sediri. Bahkan suara daun jatuhpun terdengarnya, sangat sepi disana baginya.
Padalah seratus meter dari sana sedang ada perlombaan lari antarkecamatan
disana. Tapi semua itu tidak didengar Asyila, karena bahkan Asyila tidak kenal
dengan tetangganya. Karena waktunya hampir selalu dihabiskan di rumah, sekolah
dan rumah sakit.
“Assalamu’alaikum,
hei lagi apa?” sapa seorang wanita asing yang mendekati Asyila, namun Asyila
tidak menjawabnya. Dia masih berkonsentrasi dalam lamunannya yang semakin
membuatnya frustasi.
“Assalamu’alaikum”
kali ini sang wanita mencoba lebih halus
“Wa’alaikumsalam”
akhirnya Asyila tersadar dalam lamunannya dan menjawab salam.
“Saya
boleh duduk di sini, Nak?” Tanya wanita itu.
“Iya
boleh, silahkan” jawab Asyila, masih dengan menampakkan wajah yang murung.
Sang wanita duduk di belakang
Asyila. Mereka berdua duduk berbeda arah, sampai punggung mereka berdua beradu.
Di taman itu, hanya ada satu kursi di amping pohon besar. Di depannya ada
lapang sepak bola rumput sementara dibelakangnya ada jalanan yang menghubungkan
perumahan Asyila dan kampong cicak disebelahnya.
“Dulu,
saya juga merasakan masa muda sepertimu, Nak” sang wanita nampaknya hendak
bercerita. Namun Asyila tidak menanggapinya. Nampaknya Asyila masih
membayangkan dan menyesalkan kehidupannya yang seperti itu.
“Saya
juga pernah sekolah, punya teman dan ikut organisasi” lanjut sang wanita.
Pernyataan sang wanita kali ini pun masih tidak ditanggapi Asyila.
“Tapi
itu jauh sesudah kejadian itu berlangsung” sang wanita melanjutkannya lagi dan
kali ini Asyila mulai tertarik dengan cerita sang wanita.
“Sesudah
saya dinyatakan tidak naik kelas, sesudah saya kehilangan teman saya, sesudah
saya kehilangan orang tua saya, sesudah lima tahun dari wafatnya ayah saya,
sesudah saya keluar sekolah untuk sementara karena tidak punya biaya. Namun itu
sebelumnya…”sang wanuta menceritakan kehidupannya.
“Sebelum
saya bertemu dengan anak-anak yatim di panti asuhan, sebelum saya bertemu
dengan anak-anak yang tidak punya tangan, kaki, tidak bisa bicara, tidak biaa
mendengar, hanya memiliki sau ginjal…” pernyataan tersebut membuat Asyila
sadar, bahwa sang wanita hendak menceritakan kehidupan masa remajanya.
“Setelah
saya bertemu dengan mereka, saya sadar ternyata masih banyak yang tidak
beruntung daripada saya. Saya masih lebih beruntung pernah mengetahui siapa ibu
dan ayah saya. Masih beruntung bsa merasakan sekolah, masih beruntung bisa
berjalan, masih beruntung bisa mendengar lantunan indah Beethoven, yang menjadi
inspirasi bagi saya, masih bia menceritakan semuanya kepada dunia. Semenjak itu
saya sadar, bahwa ternyata hidup ini terlalu berharga jika hanya ditangisi,
disesali dan selalu ditakuti. Padahal banyak sekali yang tiadk bisa merasakan
panasnya sang mentari, tidak bisa melihat indahnya bulan di malam hari dan
tidak bisa bernafas lagi.” Sang wanita begitu bersemangat bercerita.
“Tapi,
yang lebih penting lagi, kita masih punya kesempatan untuk merubah masa depan
kita. Ya, setidaknya harapan itu masih ada dan akan tetap ada sampai nafas
sudah sampai di atas rongga dada” kali ini sang wantita berdiri dan hendak
beranjak pergi.
Ketika Asyila berbalik, ternyata
yang dilihatnya seorang wanita buta berjalan menjauhinya. Asyila tersadar,
wanita yang bercerita tadi adalah seorang wanita buta yang memiliki masa remaja
yang sama dengannya.
“Oh
tidak Ya Allah, saya terlalu sering mengeluh, pdahal masih banyak yang lebih
menderita dari saya” Pikir Asyila.
“Ya
benar, setidaknya kita masih punya harapan. Kau benar Bu” teriak Asyila dan
kali ini dengan senyum yang indah, Kerudungnya pun ikut merebah, karena pipinya
yang merebah. Matanya terbuka, dari bola matanya terlihat semangat yang
membara. Tangannya di kepalkan dan sambil berlari membawa sepeda dia hendak
pulang ke rumah dengan semangat yang paing indah, sepanjang hidupnya.
***
Hari ini, merupakan hari pertama
UN susulan. Dan Asyila nampak sudah bersiap untuk mengikutinya. Memang,
semenjak bertemu dengan seorang wanita turnanetra yang bahkan Asyila sendiri
tidak tahu namanya, Asyila seakan menjadi wanita yang baru saja terlahir kembali
dengan semangat yang baru. Kini, hidupnya dipenuhi dengan harapan dan rasa
optimis yang besar. Tidak ada kecemasan yang berlebihan kembali. Karena
ungkapan terakhir dari sang wanita sangat dan masih diingatnya. “… setidaknya
harapan itu masih ada dan akan tetap ada, sampai nyawa sudah tiada” setidaknya
begitulah Asyila bisa menangkap maksud sang wanita.
Di dalam angkot, Asyila semakin
tidak sabar untuk mengisi setiap soal UN susulan. Dia lebih merasa percaya diri
kalii ini, setiap kilometer yang dilewatinya menambah semangat dan
ketidaksabarannya untuk mengisi soal UN susulan. Dia membayangkan ketika lulus
nanti, ayah dan ibunya pasti bahagia dan menyambutnya denga senyuman atau
bahkan tangisan bahagia.
Tinggal lima puluh meter lagi
dari gerbang sekolah, Asyila mulai bersiap-siap untuk turun. Diambilnya uang
dua ribu rupiah untuk membayar ongkos angkot. Dia hendak menginfakkan lebihnya
dan berharap semoga itu menjadi berkah baginya.
Sepuluh meter dari gerbang,
angkot pun berhenti diseberang gerbang sekolah. Asyila pun sudah beranjak dari
tempat duduknya dan membayar ongkos angkot, dengan tidak menagih kembailan
seperti biasanya. Nampaknya snag supir angkot dapat menerima sinyal positif
Asila dan langsung menjalankan angkotnya kembali, tanpa berniat memberikan
kembalian.
Asyila pun sudah tepat berada di
depan gerbang. Dilihatnya papan nama sekolah bertuliskan SMP-SMA dan Pesantren
Daarul Amri, tempat bersekolahnya, yang memang bersatu dengan SMA dan juga
pesantren. Baru pertama kalinya, Asyila berani melihat papan nama tersebut
dengan begitu jelas dan mata yang terbuka dan senyuman. Menggambarkan keadaan
hatinya yang sedang senang.
“bismillahirrahmaanirrahiim…
ya saya siap” ungkap Asyila dalam hatinya.
Asyila pun hendak berjalan,
menyebrang jalan. Ketika hendak menyebrang, Asyila pun masih memikirkan
kemungkinan posistif. Dan kini dia bisa memasuki sekolah dengan penuh harapan.
Membayangkan ekspresi wajahnya ketika melihat pengumuman kelulusan nanti.
“teeet…
teeet” sebuah mobil menyalakann klakson dan tiba-tiba mobil tersebut menabrak
tubuh Asyila. Asyila pun terlempar sejauh tiga puluh meter.
Kejadian ketika pertama kali
melihat ibunya tiba-tiba terbayang dibenak Asyila, kemudain pertama kali dia
sadar akan keadaannya yang hanya memiliki satu ginjal, lalu pertama kali dia
masuk sekolah, pertama kali dia masuk ke rumh sakit muncul dibenaknya.
Bukan hanya itu, masa-masa
kelamnya semenjak pengumuman kelulusan UN pun muncul dibayangannya. Masa dimana
dirinya ingin merasakan mati dan dia merasakan harapannya itu sudah sangat
dekat. Dan dia merasa hidup untuk menderita dan dunia tiadk menginginkannya
untuk bahagia.
Namun, Asyila juga sempat
membayangkan bertemu dengan seorang wanita yang menyadarkan hidupnya,
membuatnya lebih termotivasi untuk hidup dan memiliki semangat baru. Pernyataan
itu masih terngiang di telinganya “… harapan itu masih ada, dan akan tetap ada
sampai nafas sudah sampai di atas rongga dada”. Dan kali ini dia tersadar bahwa
dia masih punya harapan. Harapannya ingin agar kelak dikehidupan setelahnya dia
bisa bahagia. Dia ingin orang tuanya pun hidup bahagia. Dia ingin seluruh
pelajar bisa merasakan indahnya masa-masa hidup dan bersekolah. Dia berharap
tidak ada lagi pelajar yang malu untuk belajar karena punya kekurangan. Dia
ingin semua pelajar bersemangat mengikuti kegitan tambahan seperti
berorganisasi. Dia berharap, seluruh pelajar bisa punya cita-cita yang tinggi,
bukan hanya untuk dirinya tapi juga keluarganya dan seluruh manusia di dunia.
Dia berharap semua pelajar memiliki harapan dan sadar bahwa “… harapan itu
masih ada dan akan tetap ada, hingga nafas sudah sampai di atas rongga dada.”
***
waz ini ga beneran kan? hihi
BalasHapusceritanya mirip novel mawar mawar adzikia tapi bedanya di akhir cerita si perempuan itu meninggal
irliyani.blogspot.com :D
baru buka lagi hehe.
Hapusga ko, ini cuman fiktif belaka. kalau ada kesamaan nama dan kejadian merupakan sebuah kebetulan yang tidak disengaja.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus