Pages

Labels

slide

30 Desember 2012

My First Cerpen...


Harapan Asyila, Sampai Payah…
Fawaz Muhammad Sidiqi
                Malam itu, menjadi malam yang begitu istimewa bagi sepasang suami-istri yang baru saja menikah kurang dari satu tahun yang lalu. Sepasang suami-istri yang hidup sederhana di sebuah rumah yang menjadi pemberian orang tua sang istri, disebuah perkampungan di ujung timur perbatasan antara kota dan kabupaten Tasikmalaya di Jawa Barat. Pasalnya buah hati perkawinan mereka, tepat malam itu akan mulai mengisi kehidupan mereka.  
 Malam itu merupakan malam jum’at minggu terakhir bulan agustus bertepatan dengan tahun diselenggarakannya piala dunia sepak bola di Prancis. Memang ayah sang buah hati begitu menggemari sepak bola. Yang paling spesial lagi, tim unggulan sang ayah di piala dunia tahun itu berhasil menjadi juara dunia. Ya, sang ayah merupkan salah seorang pendukung Prancis yang pada tahun tersebut berhasil meraih juara dunia di negaranya sendiri. Bahkan beberapakali sang ayah menghayal memiliki seorang anak yang memiliki skill bermain bola seperti Zidane, kapten timnas Prancis kala itu.
Di Rumah sakit tempat persalinan istrinya, sang suami menunggu persis di luar kamar persalinan sang istri. Disana ada 6 kursi berwarna silver, terbuat dari bahan alumunium tanpa di lapisi bantal dan semua kursi menyatu menjadi satu. Desainnya seperti kursi buatan Spanyol mirip kursi tempat  tunggu di ruangan Tata Usaha SMA sang suami dulu.  Sang suami duduk di kursi paling ujung dekat dengan pintu kamar persalinan sang istri.

Ruangan tersebut seperti sebuah lorong panjang yang menghubungkan pusat persalinan di ujug yang satu dan pusat UGD di ujung lorong yang satu lagi. Dan sang suami tepat berada di tengah-tengah lorong tersebut. Warna temboknya seperti kebanyakan warna tembok rumah sakit pada biasanya, putih cerah. Di ruangan tersebut hanya ada sang suami dan seorang remaja, yang duduk  dua kursi di sebelah kanan sang suami, yang nampak masih mengantuk. Wajar saja, pasalnya ketika sang suami melihat arlojinya, waktu masih menunjukan pukul satu pagi.
Rasa cemas dan pusing pun masih menyelimuti sang suami. Dalam lamunannya, Sang suami masih ingat betul ketika sang istri tiba-tiba terbangun lalu berteriak kesakitan di rumahnya, dua jam yang lalu. Ya, teriakan yang membangunkan tidur sang suami. 
“Pah, Pah, Pah… Aah” teriak sang istri.
“kenapa mah?” ujar sang suami
“Pah, Pah, Pah… “ sang istri berteriak kembali.
Melihat keadaan sang istri, sang suami yang sangat panik dapat menagkap maksud sang istri. Memang malam itu merupakan bulan kesembilan lebih lima hari kandungan sang istri. Sang suami langsung menyadari itu dan membawa sang istri ke rumah sakit. Untungnya, lima bulan yang lalu sang suami sempat membeli sebuah mobil kijang, rakitan Indonesia yang memiliki warna hitam. Mereka hanya berangkat berdua, pasalnya semenjak pisah dari rumah orangtuanya, mereka hanya hidup berdua disana. 
Rumah sakit terdekat, berjarak kurang dari lima kilometer dari rumah mereka. Di jalan pun, sang istri tidak henti-hentinya berteriak kesakitan.
“ Pah cepet Pah…” ujar sang istri
“ Iya sabar mah, kita bentar lagi nyampe ko” sang suami menjawab dengan sangat gemetar, begitu cemas.
Jalanan sangat sepi. Hanya sekitar dua puluh detik sekali ada kendaraan yang bersimpangan dengan mobil sang suami. Selain karena rumah mereka memang berada di daerah perkampungan, dua belas kilo meter dari pusat kota, malam itu memang masih terlalu malam untu orang-orang beraktifikas bahkan untuk pergi ke pasar sekalipun.  Maka dari itu, sang suami bisa mengendarakan mobilnya lebih cepat daripada biasanya.
Malam yang cukup dingin pun tidak menjadi masalah sang suami. Di pikirannya hanya ada rasa cemas dan bingung melihat keadaan sang istri yang duduk di sampingnya masih terus berteriak kesakitan. Tidak terpikirkan sama sekali, tugas di kantor Pajak tempat bekerjanya besok, meskipun baru saja dua bulan yang lalu sang suami masuk menjadi bagian humas di kantornya, dia beranggapan besok masih bisa mengambil cuti. Di pikrannya terus terbesit bagaimana jika sang anak ternyata terlahir cacat, bagaimana jika ternyata dia telat mengantarkan sang istri ke ruamh sakit, bagaimana jika harapannya dengan sang istri memiliki seorang anak lalu setelah dua tahun sang anak lahir, mereka pergi ke Paris menemui orang tua sang istri, tidak dapat terkabul. Bagaimana jika ternyata hari-hari berikutnya dia menjadi seorang duda.
“ayolah jangan lebay gini, semuanya pasti akan baik-baik saja ko” pikiran positifnya menyanggah.Terang saja sang suami sangat cemas, bahkan sedikit berlebihan karena memang itu merupakan pertama kalinya sang suami merasakan cemasnya seorang suami mengadapi kelahiran sang buah hatinya.
 “Selamat Pak, anak Bapak Perempuan” tegur seorang wanita separuh baya, yang keluar dari ruang persalinan istrinya, menyadarkan sang suami dari lamunan.  
Sang suami pun langsung berdiri seketika dan harapan sang suami yang kini resmi menjadi seorang ayah untuk memiliki seorang anak atlet sepak bola pun musnah. Tapi, keterangan wanita separuh baya selanjutnya lah, yang membuat sang suami lebih merasa sedih lagi.
“Namun mohon maaf Pak, anak bapak hanya memiliki satu ginjal”  terang sang wanita, yang ternyata seorang dokter.
“Oh gitu ya dok, terus istri saya bagaimana?” tanya sang suami.
“Untuk istri bapak, dikarenakan posisi badan anak bapak yang tidak biasa ketika dalam kandungan, maka kami melakukan operasi sesar. Sekarang beliau belum siuman.” terang sang dokter.
Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut sang suami. Perasaannya kini bercampur antara senang anak pertamanya sudah lahir dan istrinya selamat. Sekaligus sedih karena ternyata sang anak lahir dengan hanya satu ginjal dan sang istri menjanai operasi sesar dan belum sadarkan diri.
Rasa cemasnya memuncak, membawanya dalam lamunan, pikiran negatifnya terus bersuara. “Bagaimana jika ternyata anak saya kelak tidak bisa beraktifitas seperti anak yang lainnya, bagaimana jika anak saya kelak sering sakit dan merasa tidak percaya diri untuk bergaul dengan temannya gara-gara kelainanya, bagaimana jika ternyata penyakitnya bisa menghambat prestasinya, bagaimana jika hari-hari anak saya kelak hanya dihabiskan untuk perawatan penyakitnya, bagaimana jika umur anak saya… lalu bagaimana jika istri saya ternyata tidak punya waktu yang lebih lama lagi… aaah” pikiran-pikiran negatifnya semakin membawanya dalam kecemasan dan kesedihan yang sangat.
*******
                “Assalamu’alaikum, Pak, Pak Pak” teriak seorang perempuan dari luar rumah sambil mengetuk pintu.
                “Wa’alaikumussalam, ada apa nak?” sang istri membuka pintu.
                “Anak ibu bu, anak ibu..” perempuan tadi seperti hendak memberitahu kabar buruk tentang sang anak
                “ Anak saya kenapa? Apa yang terjadi dengan Asyila?” Sang istri mulai panik
                “Asyila pingsan lagi tante, tadi dia pendaharan di WC terus pas datang ke kelas langsung pingsan. Sekarang sudah di rumah sakit karya kartini, Tante” terang sang perempuan.
                “Ada apa, Mah?” teriak sang suami dari dalam rumah yang sedang duduk di shofa teras rumahnya.
                “Asyila pah, asyila..” sahut sang istri.
                “Asyila kenapa?”  Sang suami kembali bertanya, kali ini mulai beranjak mendekat ke Pintu.
                “Asyila pingsan, Pah. Dia sekarang di rumah sakit Karya kartini” jelas sang istri.
                “Ya udah, kalau gitu sekarang kita langsung kesana” respon sang suami.
Kejadian ini bukan yang pertama kalinya. Selama lima belas tahun sejak kelahirannya, Asyila memang selalu mengalami masalah dengan sistem eksresinya. Selain serig sekali mengeluarkan darah, kotoran-kotoran di tubuhnya tidak secara sempurna tersaring, sehingga sistem kekebalan tubuhnya rendah membuatnya mudah sakit.
Kini Asyila pun sudah memasuki tingkat terakhir masa SMPnya. Selain memiliki masalah dengan kesehatannya, kepercayaan diri menjadi masalah tersendiri baginya. Asyila tidak mengikuti organisasi atau bahkan kegiatan tambahan lainnya di sekolahnya. Karena dia menganggap hanya akan membuat penyakitnya semakin parah, kondisinya pun tidak memungkinkan untuk dapat aktif sebagai pngurus organisasi.
Selaku orang tuanya, kami pun tidak pernah memaksakan Asyila untuk mengikuti aktif di organisasi atau kegiatan tambahan sekolah lainnya. Kami sadar, Asyila masih perlu waktu untuk menerima keadaan dirinya. Bukan sekali, bahkan hamper setiap hari kami pun memberikan pengertian dan motivasi kepadanya bahwa semuanya akan baik-baik saja, meskipun keadaanya tidak seperti orang pada umumnya.
***
Satu minggu setelah kejadian tersebut, Asyila kembali bisa masuk ke Sekolah. Asyila memang dituntut untuk lebih rajin lagi, pasalnya tahun ini merupakan tahun terakhirnya di SMP. Namun, masalah yang paling utama bukanlah keadaan Asyila sekarang yang memasuki tingkat akhir. Seringnya Asyila izin sekolah karena sakit, membuatnya harus bekerja lebih giat lagi mengejar ketertinggalan baik tentang pelajaran maupun tugas-tugas dan ulangan yang sudah seribgkali ditinggalkannya.
                “Eh Syil, udah sehat Nih?” tanya Nisa, teman sekelas Asyila yang sudah dua tahun duduk satu bangku dengan Asyila.
                “Iya nih Nisa, hari ini kan  banyak tugas dan ulangan juga, jadi ya dipaksain sekolah aja, takutnya makin banyak tugas yang harus nyusul nanti” jawab Asyila, yang baru saja sekitar sepuluh langkah turun dari angkot.
                “Oh iya Syil, hari ini ada ulangan IPA. Kamu sendiri tahu kan gimana Pa Dadi kalau kita ga ikut ulangan? Nilai kita pasti jelekan ya” sambung Nisa.
                “Nah itu kamu juga tahu Nis, saya juga harus banyak susulan nih. Kamu juga tahu kan Nis, semenjak kelas dua belas ini akau jadi sering sakit, jadi banyak tugas dan ujian yang belum. Mana nilai semester satu kemarin pada kecil lagi, hampir lima puluh persen dibawah KKM. Jadi ya sekarang harus perbaikan. Tiga bulan ke depan kan kita kan UN. Saya ga mau kalau ga lulus UN” tutur Asyila.
                “Tenang aja, SYil, kalau kamu perlu bantuan bialng aja sama aku ya” ungkap Nisa sambil memperlihatkan senuman khasnya.
                “Iya deh iya, ayo cepet kita harus masuk ke kelas. Udah mau bel nih” ajak Asyila.
Mereka berdua memang teman akrab. Sangat akrab. Terlebih lagi Asyila yang dikenal pendiam dan tidak mudah bergaul dengan teman yang lainnya, sangat mengandalkan Nisa sebagai tempat curhatnya, teman bermain, belajar dsb. Selain itu, ASyila yang memang tidak memiliki kegiatan tambahan seperti organisasi dan ekskul di sekolahnya, memang hanya mengenal Nisa teman sekelasnya sejak kelas satu.
Asyila memang masih belum bisa menerima keadaannya, sebagai seorang anak yang hanya memiliki satu ginjal. Namun yang lebih menyakitkan lagi baginya, dia jadi sering sakit dan tidak masuk sekolah karenanya.
Tiga bulan lagi UN, sementara Asyila masih harus memperbaiki nilai semester kemarin yang hampir lima puluh persen dibawah KKM, gara-gara sering tidak masuk sekolah. Dia seringkali mengeluh dan bertanya pada dirinya sendiri,
                “Kenapa ya, aku begini? Padahal aku juga kan ingin beraktifitas seperti biasa, seperti yang lainnya. Ya, bisa sekolah secara rutin, masuk organisasi, punya temen banyak, nilai di atas rata-rata, bahkan sampai sekarang aku masih bingung dengan cita-cita. Sekolah tak ubahnya penderitaan bagiku, padahal aku sudah lebih dari dua tahun sekolah disini, tapi ko semuanya seakan asing, aku hanya mengenal Nisa, gurupun mungkin tak semuanya mengenalku. Hanya guru iket saja, yang sering mengizinkanku sakit yang tahu. Mentari seakan hanya menampakkan setengah wajahnya kepadaku, bulan pun sama, tiap malam seakan hanya memberikan sinar yang gelap bagiku, dunia pun juga, aku bahkan tidak tahu apakah memang benar dunia itu ada. Kalau memang dunia itu ada, kenapa aku tidak bisa merasakan indahnya hidup di dunia. Mungkinkan ini penderitaan yang nyata yang hanya orang celaka yang merasakannya, yang orang lebih sering menyebutnya neraka. Tapi, apa salahku? Bukannya sejak lahir aku memang begini, sejak aku masih suci, aku masih dalam keadaan tidak berdosa, kenapa aku dianugerahkan kekuarangan ini?” lirih pikirannya hampir setiap istirahat di sekolah.
***
Hari ini merupakan hari pengumuman kelulusan Ujian Nasional. Asyila sebenarnya bimbang dan cemas. Pikirannya tidak karuan. Dia takut tidak lulus UN.
                “Alhamdulillah aku lulus” ungkap Nisa, dengan menampakkan wajah yang merah, bibir tersenyum, mata terbuka dan dengan suara yang sedikit nyaring.
                “Oh iya, selamat ya, aku juga lulus nih, Nis” ungkap Fitri, teman Nisa yang lain.
                “Kamu gimana Syil? Pasti lulus kan?” Tanya Nisa.
                “Belum tahu nih, aku belum lihat. Di papan pengumuman sekolah kan ya? Aku mau kesana sekarang” ungkap Asyila, dengan wajah yang seperti memaksakan untuk tersenyum.
                “oh iya deh, mau ditemenin?” tawar Nisa
                “Ga usah, saya masih bisa jalan sendiri ko, hehe” terang Asyila,kali ini dengan senyum yang lebih bebas.
Sepanjang jalan menuju papan pengumuman, Asyila terus membayangkan kemungkinan yang terjadi. Sayangnya, Asyila lebih memikirkan kemungkinan terburuk, yang membuatnya semakin cemas dan ketakutan. Pasalnya ketika UN kemarin, Asyila tidak begitu mengerti dengan soal yang diberikan. Malahan, hari ketiga UN, ASyila harus menjalaninya di Rumah Sakit. Dia takut tidak lulus UN, dia takut jika membuat orang tuanya malu, dia takut kalau dia tidak bisa memiliki teman lagi seperti Nisa. Dia takut, semua keluarganya membencinya. Dia sangat ketakutan.
                “Asyia, Asyila, Asyila… Mana ya? Ko ga ada sih?” lirih Asyila melihat pengumuman kelulusan.
Dan benar saja, kekhawatiran Asyila terjawab. Dia tidak lulus UN. Di papan pengumuman kelulusan UN, tidak ada nama Asyila. Tiba-tiba Asyila tidak bisa menahan tubuhnya, lalu pingsan.
***
Asyila semakin frustasi. Pikirannya sangat kacau. Bahkan sesekali dia memikirkan kematian. Menurutnya mungkin mati akan lebih baik baginya, daripada hidup dengan hanya menyusahkan kedua orang tuanya, dan menambah rasa bersalah dan rasa menyesalnya.
Setelah siuman dari pingsannya, Asyila melihat ada tiga orang disana, ada ayah dan ibunya dan juga ada Nisa.
                “Asyila, kamu gapapa kan, Nak?” Tanya Ayah khawatir.
Bahkan Asyila pun tidak sanggup menjawab pertanyaan tersebut. Penderitaaan ini terlalu berat baginya, dia hanya bisa mengadu dalam dirinya.
                “Kenapa ini terjadi kepadaku? Apa salahku? Kenapa semuanya seperti menjauh dariku? Kesuksesan, kesenangan semuanya tidak ada dikamus kehidupanku. Aku tahu tentang apa itu syukur. Tapi, apa yang harus saya syukuri. Kehidupan? Apakah memang aku nyaman dengannya? Kalau bisa aku tidak berharap memilikinya lagi” lirih Asyila.
***
Hari kedua belas, dari pengumuman kelulusan UN. Asyila masih punya waktu tiga puluh enam hari lagi untuk dapat mengikuti UN susulan bagi yang tidak lulus.
Namun jangankan UN, Asyila pun masih saja menyesali kehidupannya. Rasa percaya diri, optimis, berusaha sudah hilang dari kamus kehidupan Asyila.
Ketika itu, Asyila sedang beristirahat di taman, setelah merasa lelah bermain sepeda. Dia seakan meras sediri. Bahkan suara daun jatuhpun terdengarnya, sangat sepi disana baginya. Padalah seratus meter dari sana sedang ada perlombaan lari antarkecamatan disana. Tapi semua itu tidak didengar Asyila, karena bahkan Asyila tidak kenal dengan tetangganya. Karena waktunya hampir selalu dihabiskan di rumah, sekolah dan rumah sakit.
                “Assalamu’alaikum, hei lagi apa?” sapa seorang wanita asing yang mendekati Asyila, namun Asyila tidak menjawabnya. Dia masih berkonsentrasi dalam lamunannya yang semakin membuatnya frustasi.
                “Assalamu’alaikum” kali ini sang wanita mencoba lebih halus
                “Wa’alaikumsalam” akhirnya Asyila tersadar dalam lamunannya dan menjawab salam.
                “Saya boleh duduk di sini, Nak?” Tanya wanita itu.
                “Iya boleh, silahkan” jawab Asyila, masih dengan menampakkan wajah yang murung.
Sang wanita duduk di belakang Asyila. Mereka berdua duduk berbeda arah, sampai punggung mereka berdua beradu. Di taman itu, hanya ada satu kursi di amping pohon besar. Di depannya ada lapang sepak bola rumput sementara dibelakangnya ada jalanan yang menghubungkan perumahan Asyila dan kampong cicak disebelahnya.
                “Dulu, saya juga merasakan masa muda sepertimu, Nak” sang wanita nampaknya hendak bercerita. Namun Asyila tidak menanggapinya. Nampaknya Asyila masih membayangkan dan menyesalkan kehidupannya yang seperti itu.
                “Saya juga pernah sekolah, punya teman dan ikut organisasi” lanjut sang wanita. Pernyataan sang wanita kali ini pun masih tidak ditanggapi Asyila.
                “Tapi itu jauh sesudah kejadian itu berlangsung” sang wanita melanjutkannya lagi dan kali ini Asyila mulai tertarik dengan cerita sang wanita.
                “Sesudah saya dinyatakan tidak naik kelas, sesudah saya kehilangan teman saya, sesudah saya kehilangan orang tua saya, sesudah lima tahun dari wafatnya ayah saya, sesudah saya keluar sekolah untuk sementara karena tidak punya biaya. Namun itu sebelumnya…”sang wanuta menceritakan kehidupannya.
                “Sebelum saya bertemu dengan anak-anak yatim di panti asuhan, sebelum saya bertemu dengan anak-anak yang tidak punya tangan, kaki, tidak bisa bicara, tidak biaa mendengar, hanya memiliki sau ginjal…” pernyataan tersebut membuat Asyila sadar, bahwa sang wanita hendak menceritakan kehidupan masa remajanya.
                “Setelah saya bertemu dengan mereka, saya sadar ternyata masih banyak yang tidak beruntung daripada saya. Saya masih lebih beruntung pernah mengetahui siapa ibu dan ayah saya. Masih beruntung bsa merasakan sekolah, masih beruntung bisa berjalan, masih beruntung bisa mendengar lantunan indah Beethoven, yang menjadi inspirasi bagi saya, masih bia menceritakan semuanya kepada dunia. Semenjak itu saya sadar, bahwa ternyata hidup ini terlalu berharga jika hanya ditangisi, disesali dan selalu ditakuti. Padahal banyak sekali yang tiadk bisa merasakan panasnya sang mentari, tidak bisa melihat indahnya bulan di malam hari dan tidak bisa bernafas lagi.” Sang wanita begitu bersemangat bercerita.
                “Tapi, yang lebih penting lagi, kita masih punya kesempatan untuk merubah masa depan kita. Ya, setidaknya harapan itu masih ada dan akan tetap ada sampai nafas sudah sampai di atas rongga dada” kali ini sang wantita berdiri dan hendak beranjak pergi.
Ketika Asyila berbalik, ternyata yang dilihatnya seorang wanita buta berjalan menjauhinya. Asyila tersadar, wanita yang bercerita tadi adalah seorang wanita buta yang memiliki masa remaja yang sama dengannya.
                “Oh tidak Ya Allah, saya terlalu sering mengeluh, pdahal masih banyak yang lebih menderita dari saya” Pikir Asyila.
                “Ya benar, setidaknya kita masih punya harapan. Kau benar Bu” teriak Asyila dan kali ini dengan senyum yang indah, Kerudungnya pun ikut merebah, karena pipinya yang merebah. Matanya terbuka, dari bola matanya terlihat semangat yang membara. Tangannya di kepalkan dan sambil berlari membawa sepeda dia hendak pulang ke rumah dengan semangat yang paing indah, sepanjang hidupnya.
***
Hari ini, merupakan hari pertama UN susulan. Dan Asyila nampak sudah bersiap untuk mengikutinya. Memang, semenjak bertemu dengan seorang wanita turnanetra yang bahkan Asyila sendiri tidak tahu namanya, Asyila seakan menjadi wanita yang baru saja terlahir kembali dengan semangat yang baru. Kini, hidupnya dipenuhi dengan harapan dan rasa optimis yang besar. Tidak ada kecemasan yang berlebihan kembali. Karena ungkapan terakhir dari sang wanita sangat dan masih diingatnya. “… setidaknya harapan itu masih ada dan akan tetap ada, sampai nyawa sudah tiada” setidaknya begitulah Asyila bisa menangkap maksud sang wanita.
Di dalam angkot, Asyila semakin tidak sabar untuk mengisi setiap soal UN susulan. Dia lebih merasa percaya diri kalii ini, setiap kilometer yang dilewatinya menambah semangat dan ketidaksabarannya untuk mengisi soal UN susulan. Dia membayangkan ketika lulus nanti, ayah dan ibunya pasti bahagia dan menyambutnya denga senyuman atau bahkan tangisan bahagia.
Tinggal lima puluh meter lagi dari gerbang sekolah, Asyila mulai bersiap-siap untuk turun. Diambilnya uang dua ribu rupiah untuk membayar ongkos angkot. Dia hendak menginfakkan lebihnya dan berharap semoga itu menjadi berkah baginya.
Sepuluh meter dari gerbang, angkot pun berhenti diseberang gerbang sekolah. Asyila pun sudah beranjak dari tempat duduknya dan membayar ongkos angkot, dengan tidak menagih kembailan seperti biasanya. Nampaknya snag supir angkot dapat menerima sinyal positif Asila dan langsung menjalankan angkotnya kembali, tanpa berniat memberikan kembalian.
Asyila pun sudah tepat berada di depan gerbang. Dilihatnya papan nama sekolah bertuliskan SMP-SMA dan Pesantren Daarul Amri, tempat bersekolahnya, yang memang bersatu dengan SMA dan juga pesantren. Baru pertama kalinya, Asyila berani melihat papan nama tersebut dengan begitu jelas dan mata yang terbuka dan senyuman. Menggambarkan keadaan hatinya yang sedang senang.
                “bismillahirrahmaanirrahiim… ya saya siap” ungkap Asyila dalam hatinya.
Asyila pun hendak berjalan, menyebrang jalan. Ketika hendak menyebrang, Asyila pun masih memikirkan kemungkinan posistif. Dan kini dia bisa memasuki sekolah dengan penuh harapan. Membayangkan ekspresi wajahnya ketika melihat pengumuman kelulusan nanti.
                “teeet… teeet” sebuah mobil menyalakann klakson dan tiba-tiba mobil tersebut menabrak tubuh Asyila. Asyila pun terlempar sejauh tiga puluh meter.
Kejadian ketika pertama kali melihat ibunya tiba-tiba terbayang dibenak Asyila, kemudain pertama kali dia sadar akan keadaannya yang hanya memiliki satu ginjal, lalu pertama kali dia masuk sekolah, pertama kali dia masuk ke rumh sakit muncul dibenaknya.
Bukan hanya itu, masa-masa kelamnya semenjak pengumuman kelulusan UN pun muncul dibayangannya. Masa dimana dirinya ingin merasakan mati dan dia merasakan harapannya itu sudah sangat dekat. Dan dia merasa hidup untuk menderita dan dunia tiadk menginginkannya untuk bahagia.
Namun, Asyila juga sempat membayangkan bertemu dengan seorang wanita yang menyadarkan hidupnya, membuatnya lebih termotivasi untuk hidup dan memiliki semangat baru. Pernyataan itu masih terngiang di telinganya “… harapan itu masih ada, dan akan tetap ada sampai nafas sudah sampai di atas rongga dada”. Dan kali ini dia tersadar bahwa dia masih punya harapan. Harapannya ingin agar kelak dikehidupan setelahnya dia bisa bahagia. Dia ingin orang tuanya pun hidup bahagia. Dia ingin seluruh pelajar bisa merasakan indahnya masa-masa hidup dan bersekolah. Dia berharap tidak ada lagi pelajar yang malu untuk belajar karena punya kekurangan. Dia ingin semua pelajar bersemangat mengikuti kegitan tambahan seperti berorganisasi. Dia berharap, seluruh pelajar bisa punya cita-cita yang tinggi, bukan hanya untuk dirinya tapi juga keluarganya dan seluruh manusia di dunia. Dia berharap semua pelajar memiliki harapan dan sadar bahwa “… harapan itu masih ada dan akan tetap ada, hingga nafas sudah sampai di atas rongga dada.”
***

3 komentar:

  1. waz ini ga beneran kan? hihi
    ceritanya mirip novel mawar mawar adzikia tapi bedanya di akhir cerita si perempuan itu meninggal
    irliyani.blogspot.com :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. baru buka lagi hehe.
      ga ko, ini cuman fiktif belaka. kalau ada kesamaan nama dan kejadian merupakan sebuah kebetulan yang tidak disengaja.

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus