Anak
Daerah yang Menyejarah
Terlahir
dari sebuah keluarga yang “terpandang” di suatu kabupaten, yang memiliki luas
wilayah tidak lebih dari 300 Ha, di daerah selatan Jawa Barat, Acep Zamzam Noor
membuktikan bahwa orang daerah pun bisa membuat sejarah.
Acep
Zamzam Noor lahir pada tahun-tahun akhir kepengurusan Kabinet Soekarno,
tepatnya pada tanggal 28 Februari 1960. Ayahnya ialah K.H Ilyas Ruhiyat,
seorang ulama kharismatik di Pondok Pesantren Cipasung dan Ibunya ialah Euis
Nurhayati dan dikaruniai lima orang anak dengan Acep Zamzam Noor sebagai anak
tertua.
Beliau
menghabiskan masa kecilnya di pondok pesantren. Selain di Pondok Pesantren
Cipasung, beliau juga menimba ilmu di Pondok Pesantren Asy Syafi’iah, Jakarta,
dan menamatkan jenjang SLTA di sana. Kemudian melanjutkan kuliah ke Fakultas Senirupa dan Desain,
Institut Teknologi Bandung (1980-1987). Sebelum menerima beasiswa dari
Pemerintah Italia untuk tinggal dan berkarya di Perugia, Italia. (1991-1993)
Banyak sekali prestasi yang telah
dicapai putra asli Sunda ini, baik tingkat nasional maupun Internasional.
Beberapa prestasi yang pernah diterimanya ialah, Beberapa kali mendapat Hadiah
Sastra LBSS (Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda) untuk puisi Sunda terbaik.
Kumpulan puisinya, Di Luar Kata, meraih Penghargaan Penulisan Karya
Sastra 2000 dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Sedang kumpulan
puisi Jalan Menuju Rumahmu selain mendapat Penghargaan Penulisan Karya
Sastra 2005 dari Pusat Bahasa, juga mendapat South East Asian (SEA) Write Award
2005 dari Kerajaan Thailand. Mendapat Anugerah Budaya 2006 dari Gubernur Jawa
Barat. Mendapat Anugerah Kebudayaan (Medali Emas) 2007 dari Menteri Kebudayaan
dan Pariwisata RI. Kumpulan puisinya, Menjadi Penyair Lagi, meraih
Khatulistiwa Literary Award 2006-2007. Namanya termuat dalam Ensiklopedi
Sunda dan Apa Siapa Orang Sunda susunan Ajip Rosidi.Selain itu,
beliau juga pernah memenangkan berbagai macam penghargaan, diantaranya penulisan Karya Sastra Depdiknas (2000),
South East Asian (SEA) Write Award dari Kerajaan Thailand (2005) dan Khatulistiwa Literary Award (2007).
Puisi-puisinya tersebar di berbagai
media massa terbitan daerah dan ibukota. Juga di Majalah Sastra Horison,
Jurnal Kebudayaan Kalam, Jurnal Ulumul Qur’an, Jurnal Puisi
serta Jurnal Puisi Melayu Perisa dan Dewan Sastra (Malaysia).
Sebagian puisinya sudah dikumpulkan antara lain dalam Di Luar Kata
(Pustaka Firdaus, 1996), Di Atas Umbria (Indonesia Tera, 1999), Dongeng
Dari Negeri Sembako (Aksara Indonesia, 2001), Jalan Menuju Rumahmu
(Grasindo, 2004), Menjadi Penyair Lagi (Pustaka Azan, 2007) serta sebuah
kumpulan puisi Sunda Dayeuh Matapoe (Geger Sunten, 1993) yang menjadi
nominator Hadiah Rancage 1994.
Selain diterbitkan dalam bentuk
buku dan jurnal, karya-karya Beliau pun telah banyak dimuat dalam
antologi-antologi penting dan beberapa karyanya juga telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Portugal dan Arab.
Istimewanya,
Beliau tetap mempertahankan identitasnya sebagai seorang putra sunda dengan
membuat puisi-puisi dalam basa Sunda. Bahkan, beberapa puisi dalam basa
sundanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Ajip Rosidi dan Mukherjee.
Kehidupan
masa kecil dan remajanya, yang dihabiskan di lingkungan pesantren, membuat
karakternya sebagai seorang muslim begitu kuat. Ditengah tantangan zaman Orde
baru yang bersikap durjana terhadap kegiatan yang bersangkutan dengan masalah
agama khsusnya islam, Beliau tetap berani memperlihatkan identitasnya selaku
seorang muslim.
Maka
dari itu, pantaslah masyarakat Sunda bangga memiliki seorang Acep Zamzam Noor,
putra asli Sunda yang telah mampu merubah paradigma kita, bahwa ternyata orang
Daerah (pun) bisa membuat sejarah.
Cinta Daerah, Religius dan “Lurus”
Acep
Zamzam Noor merupakan sosok sastrawan yang sangat peduli dengan tanah
kelahirannya. Pernyataan ini bukan tanpa alasan, memiliki potensi untuk dapat
menjadi seorang sastrawan yang populer dan merasakan “syurganya” popularitas
dan harta di Ibu kota negara, namun Beliau memilih untuk tetap menjadi warga
daerah dan mengembangkan kesenian dan kebudayaan di daerah tempat kelahirannya.
Kepedulian
Acep Zamzam Noor terhadap kesenian dan kebudayaan di daerahnya atau di Kota
Tasikmalaya, dapat dibuktikan dengan didirikanya Sanggar Seni Tasik (SST) dan
komunitas azan.
Mendirikan
sebuah sanggar di kampung yang berjarak 15 km dari pusat kota Tasikmalaya
bukanlah suatu strategi yang baik, jika memang popularitas dan materi yang
dicari. Bahkan, kalau pun memang mendirikan sanggar di pusat kota Tasikmalaya
sendiri, sepertinya akan lebih masuk akal mendirikan sanggar di Ibukota negara
atau ibuota provinsi, jika sekali lagi yang dicari adalah harta dan
popularitas.
“Agar
lebih memasarakat dan tidak elitis, maka kesenian harus bisa memahami dan
dipahami masyarakat. Kesenian harus diakrabkan dengan masyarakat. Dan
sebaliknya masyarakat harus belajar mengapresiasi kesenian. Menjalankan konsep
ini jelas sangat berat, baik dari segi tenaga maupun pendanaan. Belum lagi
harus menciptakan ‘mujahid-mujahid’ kesenian baru yang bisa membantu
menjalankan kegiatan di wilayah baru ini.”
Pernyataan tersebut yang menjadi
latar belakang mengapa beliau mendirikan Sanggar Seni Tasik (SST). Kekhawatiran
Beliau mengenai kesenian yang sudah dianggap elitis, berusaha Beliau selesaikan
dengan mendirikan SST.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan
SST telah membuat suatu kemajuan yang nyata bagi dunia kesenian di Kota
Tasikmalaya. Kegiatan SST yang positif dan tidak sporadis, telah memaksa pemda
untuk membuat Gedung Kesenian Tasik, sebagai salah satu bentuk nyata kepedulian
pemda terhadap dunia kesenian di Kota Tasikmalaya.
Kesuksesan SST tidak membuat Acep
Zamzam Noor berhenti untuk memberikan inovasi bagi kesenian dan kebudayaan di
Tasikmalaya. Sebagai salah satu inovasi dalam meningkatkan kesenian dan
kebudayaan di Tasikmalaya, Beliau mendirikan komunitas azan. Dengan berdirinya
komunitas azan yang menjadi suatu wadah berkumpulnya seniman, publik seni dan
masyarakat umum, membuat kegiatan kesenian dan kebudayaan di Tasikmalaya
menunjukan suatu peningkatan yang baik.
Selain
sebagai seorang satrawan dan peduli terhadap kesenian dan kebudayaan di
daerahnya, Acep Zamzam Noor juga merupakan seseorang yang religius dan memiliki
itikad dan paradigma yang “lurus”.
Kehidupannya
yang sangat erat dengan dunia pesantren, telah membuat Acep Zamzam Noor
memiliki jiwa religius yang tinggi sebagai seorang muslim. Dalam beberapa
karyanya pun, terlihat sekali kepribadiannya sebagai seorang muslim yang baik.
Misalnya dalam puisinya yang berjudul sepotong senja, terdapat beberapa bait
yang menggambarkan kemuslimannya.
Di
terowongan-terowongan kota Mekkah
Aku tidak menulis apa-apa, juga tidak melukis siapa-siapa
Di gurun-gurun pasir yang garang, di bukit-bukit batu
Aku tidak meratap atau menyanyi, hanya sekedar membaca sunyi
Aku bukanlah Bilal yang nyaring mengumandangkan azan
Juga bukan Hamzah yang lantang di garis paling depan
Bukan siapa-siapa. Kepenyairan hanya berlangsung dalam hatiku
Dan aku terus berlari dengan sepotong senja yang kauberikan.
Aku tidak menulis apa-apa, juga tidak melukis siapa-siapa
Di gurun-gurun pasir yang garang, di bukit-bukit batu
Aku tidak meratap atau menyanyi, hanya sekedar membaca sunyi
Aku bukanlah Bilal yang nyaring mengumandangkan azan
Juga bukan Hamzah yang lantang di garis paling depan
Bukan siapa-siapa. Kepenyairan hanya berlangsung dalam hatiku
Dan aku terus berlari dengan sepotong senja yang kauberikan.
Kereligiusan
seorang Acep Zamzam Noor semakin sempurna, dengan kepeduliannya terhadap
keadaan masyarakat di sekitarnya dan kelurusan pemikirannya. Kepeduliannya dan
kelurusan tersebut direalisasikan dengan membentuk Partai Nurul Sembako (PNS).
Jika
tujuannya dalam mendirikan partai ialah mencari kekuasaan, memenangkan pemilu
dengan menghalalkan segala cara, maka mendirikan sebuah partai dengan kegiatan
utama mengkritisi partai-partai resmi perilaku para politisi
dan broker politik, kebijakan pemda serta upaya politisasi agama yang cenderung
diskriminatif di Tasikmalaya bukanlah langkah yang baik. Maka dari itu, Partai Nurul Sembako (PNS) diadakan
sebagai partai “tandingan” bagi partai-partai resmi dan pegawai pemerintahan
yang bertindak “kotor”.
“Saya kemudian menamai kegiatan ini sebagai ‘Pengajian Budaya’. Istilah
pengajian diambil karena mudah dipahami dan cukup memasyarakat, baik di kota
maupun di pedesaan. Istilah ini juga mempunyai pengertian yang sangat luas.
Bukan hanya mengaji agama, tapi juga mengaji kesadaran, mengaji diri, mengaji
hati nurani, mengaji kehidupan, mengaji kesenian, mengaji budaya. Lebih jauhnya
lagi mengaji toleransi terhadap berbagai keragaman yang terdapat di tengah
masyarakat.
Selain
memberikan pencerahan, kegiatan “Pengajian Budaya” juga akan merangsang
kreatifitas masyarakat. Setiap orang pasti mempunyai potensi dalam dirinya.
Potensi masyarakat inilah yang harus digali. Setelah berbagai pementasan
digelar di Cipasung, kini di kampung-kampung sekitar banyak muncul
kelompok-kelompok kesenian baik musik, teater maupun sastra. Begitu juga di
tempat-tempat lain. Sebelumnya kesenian yang hidup di wilayah ini hanyalah sebatas
seni kasidahan atau dorban.”
Dari potongan tulisannya di atas,
dapat digambarkan bagaimana kepribadian seorang Acep Zamzam Noor, seorang
seniman yang bukan hanya mampu membuat suatu karya yang memotivasi atau hanya
untuk berkontemplasi, tapi juga dapat menggerakan, bahkan bergerak dengan niat
yang lurus untuk memajukan daerah. Bukan tanpa alasan, karena jika kita mampu
mengembangkan potensi masyarakat yang ada di daerahnya, maka kemajuan bangsa
secara menyeluruhpun dapat tercapai. Agaknya hal ini perlu disadari oleh setiap
insan Indonesia, agar tidak hanya memperkaya diri tapi juga memberdayakan dan
memajukan daerah sebagai langkah awal memajukan bangsa Indonesia.
Daftar Pustaka
http//id.wikipedia.org/Acep_Zamzam_Noor
Acep, Zamzam Noor.2004. Pengajian
Budaya. [online], Tersedia http://seni-acepzamzamnoor.blogspot.com
Luqman.2011. Puisi Acep Zamzam Noor
– Sepotong Senja. [online], Tersedia http://www.luqmansastra.com/2011/01/puisi-acep-zamzam-noor-sepotong-senja.html.
[11 Januari 201].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar