Resensi Buku
Dari Ayunan Sampai
Liang Lahat, Imam Ahmad rahimahullah
Pemuda Ilmu dari
Negeri Baghdad
Judul Buku : Dari Ayunan Sampai Liang Lahat
Penulis :
Abu Nasyim Mukhtar
Penerbit :
Toobagus Publishing
Tahun Terbit :
2013
Kota Terbit :
Bandung
Jumlah Halaman :
196 Halaman
Sumber gambar : http://toko-has.com |
“Selalu dengan mahbarah, sampai pun nanti ke maqrabah”. Begitulah
jawaban Al-Imam Ahmad ketika ditanya alasan beliau tetap melakukan thalabul ‘ilmi (mencari ilmu) meskipun
sudah menjadi seorang Imam yang terkemuka di kalangan kaum muslimin. Sebuah
jawaban yang merepresentasikan kecintaan Al-Imam Ahmad akan thalabul ‘ilmi. Sebuah jawaban yang
menegaskan itikadnya untuk selalu mencari ilmu yang dianalogikan dengan
mahbarah (alat tulis), sampai jenazahnya dipanggul di atas bahu menuju kuburan (maqbarah).
Kecintaan Al-Imam Ahmad dalam
mencari ilmu bisa terlihat dari jauhnya jarak yang beliau tempuh untuk mencari
ilmu. Bayangkan saja, ketika dihitung semenjak pertama kali meninggalkan tempat
kelahirannya Baghdad menuju Kufah, kemudian ke Bashrah, Baghdad, Hijaz, Makkah,
Yaman dan tempat lainnya, jarak yang Al-Imam Ahmad tempuh jika dihitung ialah
sama dengan diameter mengelilingi bumi. Padahal, ketika itu belum ada kendaraan
yang menggunakan mesin seperti halnya motor, mobil, pesawat dan sebagainya.
Bahkan, jarak dari satu tempat ke tempat yang lain pun harus ditempuh dalam
waktu satu bulan. Sebuah bukti yang menegaskan kecintaan Al-imam Ahmad dalam
mencari ilmu.
Nampaknya, kecintaan Al-Imam
Ahmad dalam mencari ilmu seperti yang diuraikan di atas lah yang membuat Abu
Nasyim Mukhtar, menulis biografi singkat rihlah atau perjalanan Al-Imam Ahmad
dalam mencari ilmu. Cerita mengenai kesabaran Al-Imam Ahmad dalam mencari ilmu
dengan berjalan kaki sampai satu bulan, pertemuan Al-Imam Ahmad dengan
ulama-ulama besar ketika itu, sedikit cerita tentang tragedi mihnah dan sikap Al-Imam Ahmad terhadap
guru dan muridnya, dengan ringkas Abu Nasyim tuliskan dalam bukunya “Dari
Ayunan Sampai Liang Lahat”.
Dalam buku “Dari Ayunan Sampai
Liang Lahat” tersebut, diceritakan pula bagaimana kesabaran Ibunda Al-Imam
Ahmad, Shafiyyah bintu Abdul Malik dalam mendidik Al-Imam Ahmad. Bagaimana
tidak, ayahanda Al-Imam Ahmad, Muhammad bin Hanbal sudah meninggal dunia
sebelum Al-Imam Ahmad laihr ke dunia ini. Tentunya hal ini menjadikan peranan
Ummi Shafiyyah dalam mendidik dan merawat Al-Imam Ahmad semakin berat, karena
beliau harus berperan juga sebagai ayah secara langsung. Diceritakan bahwa Ummi
Shafiyyah terpaksa menyewakan salah satu bangunan sederhana yang ditinggalkan
suaminya, untuk merawat dan memenuhi kebutuhan hidup mereka berdua, karena
beliau bertekad untuk tidak tergantung kepada orang lain, bahkan memutuskan
untuk tidak menikah lagi, sebab ingin mendidik Al-Imam Ahmad dengan perhatian
yang lebih.
Selain cerita antara Al-Imam
Ahmad dan ibundanya, dalam buku “Dari Ayunan Sampai Liang Lahat” juga
diceritakan mengenai pengalaman Al-Imam Ahmad ketika mencari ilmu dan bertemu
dengan ulama-ulama besar ketika itu seperti Imam Syafi’I, Abu Mu’awiyah
Adh-Dhahir, Waki Bin Al-Jarrah, Yahya Bin Sa’id Al Qattan, Abdurrazaq Bin
Hammam dan yang lainnya. Salah satu yang membuat Al-Imam Ahmad begitu istimewa
ialah, hampir semua guru yang pernah memberikan pengajaran dan menyampaikan
sebuah riwayat hadits kepada beliau memuji dan menyanjung kesabaran serta
ketaatan Al-Imam Ahmad. Seperti yang pernah disampaikan oleh Imam Syafi’i
sebagai berikut :
“Saat aku meninggalkan Baghdad, tidak ada
orang yang lebih alim, lebih afdhal, lebih faqih dan lebih bertaqwa daripada
Ahmad bin Hanbal”
“Wahai Abu Abdillah, jika sebuah hadits
menurut Anda shahih, beritahukan kepada saya. Aku akan pegang hadits itu. Entah
orang tersebut dari Hijaz, Syam, Iraq atau Yaman”.
Dan benar saja, setiap hadits
yang diriwayatkan oleh Al-Imam Syafi’I di dalam ktab Al Umm dengan mengatakan
“seorang tsiqoh (terpercaya) telah menyampaikan kepadaku” maka yang beliau
maksud tsiqoh tersebut adalah Al-Imam Ahmad. Sungguh menjadi sebuah bukti akan
kebesaran dan ketaatan Al-Imam Ahmad.
Buku “Dari Ayunan Sampai Liang Lahat”
memiliki tata bahasa yang mudah untuk dipahami. Setiap sub bab juga tidak
memiliki terlalu banyak isi, sehingga tidak terkesan membosankan. Selain itu,
cerita-cerita yang dituliskan juga diserta dengan sumber yang jelas, bahkan
beberapa dibarengi juga dengan pendapat ahli sejarah, sehingga dapat diyakini
keasliannya.
Hanya saja, terdapat banyak
istilah-istilah dalam bahasa arab yang tidak dibarengi dengan keterangan atau
penjelasan dalam bahasa Indonesia, dimungkinkan menjadi kesulitan tersendiri
bagi beberapa pembaca, terutama yang belum menguasai bahasa arab.
Meskipun demikian, buku “Dari
Ayunan Sampai Liang Lahat” sangat cocok sekali untuk para remaja terutama bagi yang
masih saja merasa malas dalam mencari ilmu dan hendak mencari inspirasi dalam mencari
ilmu. Selain bagi mereka yang malas, buku ini juga dapat menjadi sebuah
refleksi bagi para pejuang tholabul ‘ilmi agar kelak tidak lantas berhenti
untuk mencari ilmu. Terakhir, kutipan dari Abi Ghassan semoga dapat
mengingatkan kita untuk senantiasa semangat dalam mencari ilmu.
“Engkau akan pantas disebut orang berilmu
selama engkau masih terus belajar! Jika engkau merasa cukup sehingga tidak
belajar, maka engkau adalah orang jahil”.