MAKALAH
PERJANJIAN KERJASAMA DALAM ISLAM
(SYIRKAH)
DITUJUKAN UNTUK
MEMENUHI TUGAS UJIAN PRAKTEK MATA PELAJARAN FIQIH
SMA AL-MUTTAQIN
Jalan Jenderal Ahmad
Yani No. 140 Tasikmalaya
Dibuat oleh :
1.
Fawaz Muhamad Sidiqi (11IPA 3)
2.
Lugina Nasrul (11 IPA 3)
Kata Pengantar
Segala puji
dan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Ilahi Rabbi, yang telah memberikan
kekuatan dan kekuasaan kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan tulisan ini.
Selanjutnya penulis
ucapkan terimakasih atas bimbingan Bapak Ikmal selaku guru mata pelajaran fiqih
kami selama ini. Kami haturkan makalah ini sebagai pelengkap tugas penulis, besar
harapan kritik atau saran dari Bapak tentang makalah ini dapat disampaikan
kepada penulis, sehingga menjadi pelajaran agar tidak terulang lagi dimasa
mendatang.
Selanjutnya penulis
mengucapkan selamat membaca bagi para pembaca, semoga tulisan ini dapat
bermanfaat, dapat menjadikan motivasi ataupun motivasi pembaca.
Terakhir penulis
ucapkan permohonan maaf apabila terdapat banyak kekurangan ataupun kekeliruan
dalam penulisan ini, semoga kekurangan ataupun kekeliruan yang disampaikan itu
dapat menjadi pelajaran bagi kami selaku penulis.
Tasikmalaya, 13 Desember 2011
Penulis
BAB I
PENGERTIAN, HUKUM, RUKUN DAN SYARAT
SYIRKAH
Pengertian Syirkah
Kata syirkah dalam bahasa Arab
berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi), yasyraku (fi’il
mudhâri‘), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata
dasar); artinya menjadi sekutu atau serikat (Kamus Al-Munawwir, hlm.
765). Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah.
Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba‘ah,
3/58, dibaca syirkah lebih fasih (afshah).
Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis),
syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa
sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya (An-Nabhani,
1990: 146). Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah suatu akad
antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan
tujuan memperoleh keuntungan. (An-Nabhani, 1990: 146).
Hukum dan Rukun Syirkah
Syirkah hukumnya jâ’iz (mubah),
berdasarkan dalil Hadis Nabi saw. berupa taqrîr (pengakuan) beliau
terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus
sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah
dan Nabi saw. membenarkannya. Nabi saw. bersabda, sebagaimana dituturkan Abu
Hurairah ra.:
Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman:
Aku adalah pihak ketiga dari dua pihak yang ber-syirkah selama salah satunya
tidak mengkhianati yang lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar
dari keduanya. (HR Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni).
Rukun syirkah yang pokok ada 3
(tiga) yaitu: (1) akad (ijab-kabul), disebut juga shighat; (2)
dua pihak yang berakad (‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah)
melakukan tasharruf (pengelolaan harta); (3) obyek akad (mahal), disebut
juga ma‘qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl)
(Al-Jaziri, 1996: 69; Al-Khayyath, 1982: 76; 1989: 13).
Adapun syarat sah akad ada 2 (dua)
yaitu: (1) obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan
harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli; (2) obyek akadnya
dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama
di antara para syarîk (mitra usaha) (An-Nabhani, 1990: 146).
BAB II
MACAM-MACAM SYIRKAH
Macam-Macam Syirkah
Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian
beliau terhadap berbagai hukum syirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam
syirkah dalam Islam: yaitu: (1) syirkah inân; (2) syirkah abdan;
(3) syirkah mudhârabah; (4) syirkah wujûh; dan (5) syirkah
mufâwadhah (An-Nabhani, 1990: 148). An-Nabhani berpendapat bahwa semua
itu adalah syirkah yang dibenarkan syariah Islam, sepanjang memenuhi
syarat-syaratnya. Pandangan ini sejalan dengan pandangan ulama Hanafiyah dan
Zaidiyah.
Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya
empat macam, yaitu: syirkah inân, abdan, mudhârabah, dan wujûh.
Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu: syirkah inân,
abdan, dan mudhârabah. Menurut ulama Syafiiyah, Zahiriyah, dan
Imamiyah, yang sah hanya syirkah inân dan mudhârabah (Wahbah
Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, 4/795).
Syirkah Inân
Syirkah inân adalah syirkah antara dua pihak
atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (‘amal) dan
modal (mâl). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil
As-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 148). Contoh syirkah inân:
A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti
dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi
modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah
tersebut.
Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya
harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya
rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika
barang itu dihitung nilainya (qîmah al-‘urûdh) pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan,
sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk)
berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka
masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq
dalam kitab Al-Jâmi‘, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, “Kerugian
didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas
kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah). (An-Nabhani, 1990: 151.)
Syirkah ‘Abdan
Syirkah ‘abdan adalah syirkah antara dua pihak
atau lebih yang masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal),
tanpa konstribusi modal (mâl). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja
pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik
(seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan
sebagainya). (An-Nabhani, 1990: 150). Syirkah ini disebut juga syirkah ‘amal
(Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath, 1982: 35). Contohnya: A dan B.
keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka
sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan
ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Dalam syirkah ini tidak
disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi,
boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang
batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan
halal. (An-Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya,
beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng).
Keuntungan yang diperoleh dibagi
berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di
antara mitra-mitra usaha (syarîk).
Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil
As-Sunnah (An-Nabhani, 1990: 151). Ibnu Mas‘ud ra. pernah berkata (yang
artinya), “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi
Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua
orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” (HR Abu
Dawud dan al-Atsram).
Hal itu diketahui Rasulullah saw. dan
beliau membenarkannya dengan taqrîr beliau. (An-Nabhani, 1990: 151).
Syirkah Mudhârabah
Syirkah mudhârabah adalah syirkah
antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi
kerja (‘amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (mâl).
(An-Nabhani, 1990: 152). Istilah mudhârabah dipakai oleh ulama Irak,
sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirâdh. (Al-Jaziri, 1996: 42;
Az-Zuhaili, 1984: 836). Contoh: A sebagai pemodal (shâhib al-mâl/ rabb
al-mâl) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak
sebagai pengelola modal (‘âmil/mudhârib) dalam usaha perdagangan umum (misal,
usaha toko kelontong).
Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah
mudhârabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B) sama-sama
memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan
konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan
konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya
memberikan konstribusi modal, tanpa konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini
masih tergolong syirkah mudhârabah (An-Nabhani, 1990: 152).
Hukum syirkah mudhârabah adalah jâ’iz
(boleh) berdasarkan dalil As-Sunnah (taqrîr Nabi saw.) dan Ijma Sahabat
(An-Nabhani, 1990: 153). Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf
hanyalah menjadi hak pengelola (mudhârib/’âmil). Pemodal tidak berhak
turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan
syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.
Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai
kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian
ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhârabah berlaku hukum wakalah
(perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau
kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990: 152). Namun
demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena
kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh
pemodal. (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah,
2/66).
Syirkah Wujûh
Syirkah wujûh disebut juga syirkah ‘ala
adz-dzimam (Al-Khayyath, Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah,
2/49). Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan,
ketokohan, atau keahlian (wujûh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah
wujûh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama
memberikan konstribusi kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (misalnya C)
yang memberikan konstribusi modal (mâl). Dalam hal ini, pihak A dan B
adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah
mudhârabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhârabah
padanya. (An-Nabhani, 1990: 154).
Bentuk kedua syirkah wujûh
adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang
yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada
keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-masing pihak. (An-Nabhani, 1990:
154). Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B
ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang
(misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari
barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya
dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah wujûh kedua ini,
keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang
dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra
usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan
kesepakatan. Syirkah wujûh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah
‘abdan (An-Nabhani, 1990: 154).
Hukum kedua bentuk syirkah di
atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah
mudhârabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah ‘abdan. Syirkah
mudhârabah dan syirkah ‘abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam
syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 154).
Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan
bahwa ketokohan (wujûh) yang dimaksud dalam syirkah wujûh adalah
kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah), bukan semata-semata ketokohan di
masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang
tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak
jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah
wujûh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para
pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mâliyah)
yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan. (An-Nabhani,
1990: 155-156).
Syirkah Mufâwadhah
Syirkah mufâwadhah adalah syirkah
antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di
atas (syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh) (An-Nabhani, 1990:
156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufâwadhah dalam pengertian ini,
menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah
ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah
lainnya. (An-Nabhani, 1990: 156).
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai
dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis
syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa
syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah
mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase
barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contoh: A adalah pemodal,
berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya
sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga
sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas
dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada
adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing
ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A
memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah
mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola.
Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di
samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inân di antara B dan
C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang
kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan
demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah
yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.
BAB III
KESIMPULAN
A.
Pengertian
Menurut arti asli
bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti mencampurkan dua
bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi dibedakan satu
bagian dengan bagian lainnya (An-Nabhani, 1990: 146). Adapun menurut
makna syariat, syirkah adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih,
yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh
keuntungan. (An-Nabhani, 1990: 146).
B.
HUKUM
DAN RUKUN SERTA SYARAT RIBA
Ø Hukum riba adalah jaiz atau boleh
Ø Rukun syirkah
yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:
(1) akad (ijab-kabul), disebut
juga shighat;
(2) dua pihak yang berakad (‘âqidâni),
syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf
(pengelolaan harta);
(3) obyek akad (mahal), disebut
juga ma‘qûd ‘alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mâl)
Ø syarat sah akad
ada 2 (dua) yaitu:
(1) obyek akadnya berupa tasharruf,
yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad
jual-beli;
(2) obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah),
agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra
usaha)
C. MACAM-MACAM SYIRKAH
Ø Syirkah Inân
Ø Syirkah ‘Abdan
Ø Syirkah Mudhârabah
Ø Syirkah Wujûh
Ø Syirkah Mufâwadhah
DAFTAR PUSTAKA
1 An-Nabhani, Taqiyuddin.
1990. An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm. Cetakan IV. Beirut : Darul
Ummah.
2 Antonio, M. Syafi’i.
1999. Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendekiawan. Jakarta : Bank
Indonesia & Tazkia Institute.
3 Al-Jaziri, Abdurrahman.
1996. Al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah. Juz III. Cetakan I. Beirut :
Darul Fikr.
4 Al-Khayyath, Abdul Aziz.
1982. Asy-Syarîkât fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah wa al-Qânûn
al-Wâdh‘i. Beirut : Mua’ssasah ar-Risalah.
5 —————. 1989. Asy-Syarîkât
fî Dhaw’ al-Islâm. Cetakan I. T.Tp. :Darus Salam.
6 Az-Zuhaili, Wahbah. 1984.
Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu. Juz IV. Cetakan
III. Damaskus: Darul Fikr.
7 Siddiqi, M. Nejatullah.
1996. Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam (Partnership
and Profit Sharing in Islamic Law). Terjemahan oleh Fakhriyah Mumtihani.
Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa.
8 Vogel,
Frank E. & Samuel L. Hayes III. 1998. Islamic Law and Finance:
Religion, Risk and Return. Denhag: Kluwer Law International.
9. eldrazit.multiply.com/journal/item/88?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
Tidak ada komentar:
Posting Komentar